ilmu sastra



PERIODE 1945-1953

1.        PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pengarang yang dilahirkan di Blora tanggal 2 februari 1925 ini, meskipun sudah mulai mengarang sejak zaman Jepang dan pada masa awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 ketika cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam penjara diumumnkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. ‘Blora’ ditulis dalam gaya yang sangat padatg dan menyenakkan, dimuat pertama kali dalam majalah Indonesia (1945). Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lain yang juga ditulis Pram dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
Perburuan ialah sebuah fiksi (=cerita rekaan) yang berdasarkan pemberontakan Peta (Tentara Pembela Tanah Air jaman Jepang) yang gagal terhadap Jepang, karena salah seorang di antara Shodancho yang akan berontak itu berkhianat.

2.        MOCHTAR LUBIS
Mochtar Lubis lebih terkenal sebagai wartawan. Surat kabar yang dipimpinannya, Indonesia Raya, dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak akhir tahun 1956 ditahan dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hampir sembilan tahun ia disekap terus oleh rezim pemerintah Soekarno, tanpa pemeriksaan. Ia baru dikeluarkan lagi pada tahun 1966 ketia rezim Soekarno mulai tumbang. Sekeluarnya dari tahanan ia menerbitkan dan memimpin majalah sastra Horison, bersama-sama H.B. Jassin, Taufiq Ismal, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, dan lain-lai. Sedangkan surat kabar Indonesia Raya baru terbit lagi tahun 1968.
Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1922 dalam sebuah keluarga Batak Mandailing. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di lapangan penerangan.

3.        UTUY TATANG SONTANI
Pada saat-saat pertama Jepang menginjakkan kaki ke Bumi Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera (1943). Mengikuti anjuran Kantor Pusat Kebudayaan ia pun menulis dalam bahasa. Mula-mula ia menulis sajak. Pada permulaan kemerdekaan ia menulis drama. Meski ia kemudian menulis roman dan cerpen juga, namun ia lebih terkenal sebagai seorang pengarang drama.

4.        SITOR SITUMORANG
Pengarang kelahiran Harianboho, Tapanuli, tanggal 2 Oktober 1924 ini sudah mulai menulis esei, kritik, sajak, bahkan juga cerpen pada akhir tahun empat puluhan. Tetapi namanya menjadi terkenal dan terkemuka barulah mulai tahun 1953, yaitu ketika ia pulang dari Eropa dan menulis sajak, drama, cerpen, esei dan lain-lain bentuk sastra secara melimpah-limpah. Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Surat Kertas Hijau (1954) yang terdiri dari dua kumpulan sajak ‘Surat Kertas Hijau’ dan ‘Orang Asing’. Dalam kumpulan ini Sitor kebanyakan mempergunakan soneta dalam mengisahkan pengalaman dan petualangannya selama di Eropa.

5.        AOH K. HADIMADJA
Aoh K. Hadimadja yang kadang-kadang juga mempergunakan nama samaran Karlan Hadi, mulai muncul dalam dunia sastra Indonesia pada masa sebelum perang. Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe. Ketika itu ia menjadi seorang employee di perkebunan karet Parakkansalah, Sukabumi, berkenalan dengan sastra tatkala dia berbaring di ranjang sakit sanatorium paru-paru Cisarua. Lalu ia pun masuk ke dalam lingkungan keluarga pujangga baru. Sejak itu ia menetapkan bahwa kesenian, terutama kesusastraanlah yang menjadi idaman hidupnya.
Untuk beberapa lamanya ia bekerja di Balai Pustaka, kemudian berangkat ke Sumatera di mana ia berkesempatan memimpin Syarahan Mingguan Mimbar Umum di Medan, yang mendapat minat dari para pemuda yang menaruh perhatian kepada sastra.

6.        M. BALFAS dan RUSMAN SUTIASUMARGA
M. Balfas dan Rusman Sutiasumarga ialah dua pengarang cerpen yang sering digolongkan kepada para pengarang Angkatan ’45, meski jumlah buah tanggannya tidaklah seperti para pengarang yang sudah dibicarakan terlebih dahulu.
M. Balfas (lahir di Jakarta 25 Desember 1922) lebih terkenal sebagai prosais, meski ia pun ada juga menulis satu, dua buah sajak.
Rusman Sutiasumarga (lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917) mulai menarik perhatian pada tahun 1946 ketika cerpennya ‘Gadis Bekasi’ mendapat hadiah dari Balai Pustaka.

7.        TRISNO SUMARDJO
Trisno Sumardjo (lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916) kecuali sebagai pengarang dikenal sebagai pelukis. Ia sering mengadakan pameran lukisan-lukisannya, baik di indonesia maupun di luar negeri. Ia lama dan berkali-kali terpilih sebagai sekretaris B.M.K.N. dan terakhir menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta.
Minatnya terhadap kesenian sudah diperlihatkannya pada masa awal revolusi. Bersama-sama dengan S. Soedjojono ia menerbitkan majalah seniman (1947) di Solo. Di samping itu ia dengan tekun terus menerjemahkan drama-drama pujangga Inggris Willian Shakespeare. Sebagai pengarang ia sejak semula menulis sajak, cerpen, sandiwara, esai, kritik dan lain-lain.


8.        MH. RUSTANDI KARTAKUSUMA
Barangkali tidaklah terlalu tepat menggolongkan Mh. Rustandi Kartakusuma kepada Angkatan ’45. Tulisan-tulisan agak berbeda dengan buah tangan para Angkatan ’45 baik isi maupun bentuknya. Ia sendiri tidak menganggap dirinya tergolong kepada Angkatan ’45. Tetapi ia mulai muncul dan mengumumkan tulisan-tulisannya pada akhir tahun empat puluhan berupa sajak, drama, cerpen, dan esai. Esai-Esainya tentang sastra, seni dan filsafat dimuat dalam berbagai majalah kebudayaan terkemuka pada waktu itu seperti Indonesia, Gelanggang / Siasat, Mimbar Indonesia dan Pudjangga Baru.   
















3.    Pengarang Wanita
Seperti juga pada masa sebelum perang, para pengarang wanita tidak banyak jumlahnya. Sekitar tahun lima puluhan kita hanya mengenal Ida Nasution (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St, Nuraini (Sani), dan Suwarsih Djojopuspito. Walaujati dan St. Nuraini terutama dikenal sebagai penyair, meskipun sebenarnya mereka pun ada juga menulis Prosa, baik cerpen, esai, maupun novela. Suwarsih Djojopuspito hanya menulis cerpen. Hanya S. Rukiah yang dikenal baik sebagai penyair maupun penulis prosa.
Ida Nasution ialah seorang pengarang esai yang berbakat. Ida menulis beberapa buah esai yang dimuat dalam majalah-majalaj. Tetapi ia kemudian menjadi korban revolusi. Ia hilang ketika dalam perjalanan Jakarta-Bogor (148).
Walujati (lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1924) mulai menulis sejak pada masa-masapertama revolusi. Sajaknya ‘Berpisah’ mendapat pujian dari Chairil Anwar sebagai sajak romantik yang menjadi. Sejak itu ia banyak menulis sajak.
Pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman berjudul Pujani. Konon masih ada lagi roman yang ditulisnya, tetapi belum juga kunjung terbit.
St. Nuraini yang lahir di Padang pada tanggal 6 Juli 1930 menulis sajak, cerpen, esai dan terutama menerjemahkan hasil sastra asing. Ia beberapa lamanya bekerja sebagai sekretaris redaksi Gelanggan / Siasat bersama antara lain Asrul Sani yang kemudian untuk beberapa lamanya pernah menjadi suaminya. Dalam sajak-sajaknya terasa sekali kewanitaanny. Salah sebuahnya  sajaknya halus dan lembut sekali melukiskan perasaannya sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
S. Rukiah yang lahir di Purwakarta tanggal 25 April 1927 juga menulis sajak. Bahkan sajak-sajaknya yang dimuat dalam bukunya Tandus (1952) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N tahun 1952 untuk puisi.
Sebagai pengarang prosa yang tak pernah ketahuan menulis sajak ialah Suwarsih Djojopuspito (lahir di Bogor tanggal 20 April 1912). Pada masa sebelum perang, menjelang Jepang datang (tahun 1941), ia menerbitkan roman yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, berjudul Buiten het Gareel (Di luar garis). Terbitlah roman yang ditulisnya dalam bahasa sunda tahun 1937, berjudul Marjanah. Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Tujuh Cerita Pendek (1951). Tetapi kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954).

4.    Beberapa pengarang lain
Berhasil menerbitkan buah tangan mereka menjadi buku. Misalnya Barus Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya dengan judul Busa di Laut Hidup(1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 5 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpennya dengan judul Sepanjang Jalan dengan beberapa Cerita Lain (1953). SK. Muljadi (lahir di Madium tanggal 23 Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya dengan judul Kuburan (1951), Saleh Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915) menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Kisah Sewajarnya (1952), S. Mumdingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922) menerbitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952). Muhammad Dimyanti yang kadang-kadang mempergunakan nama samaran Badaruz zaman (lahir di Solo sekitar 1914) menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949) dan Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung Kasarung (1949) dan lain-lain.

P. SENGOJO
Nama sebenarnya ialah Suripman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau menulis sajak ia mempergunakan nama samaran P. Sengojo. Nama Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen. Disamping itu masih ada lagi nama-nama lain yang dipergunakannya sebagai samaran.

M. ALI
Nama lengkapnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari keturunan India. Ia menulis sajak, cerpen dan Sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-majalah Pujangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang / Sisasat, Konfrontasi, Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwaranya yang terbaik kemudian di bukukan dalam sebuah kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959).

DODONG DJIWAPRADJA
Dodong sudah menulis sajak pada sekitar tahun 1984. Sajaknya ‘Cita-cita’ yang dimuat dalam majalah Gena Suasana tatkala masih diasuh oleh Chairil Anwar, merupakan salah satu sajak yang jernih. Sajak-sajaknya kemudian banyak dimuat dalam majalah-majalah terkemuka.
Ia dilahirkan di Garut pada tanggal 28 September 1928. Kecuali menulis sajak, kadang-kadang Dodong pun menulis cerpen dan esai. Sajak-sajaknya yang ditulisnya kian matang. Citra puisi pada sajak-sajaknya menemukan bentuknya yang sederahan, orisinal dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan salah satu seorang penyair Indonesia terkuat di samping Rendra.

HARJADI S. HARTOWARDOJO
Harjadi Sulaeman Hartowardojo mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada sekitar tahun 1950. Ia sangat produktif, sehingga untuk beberapa lama dipenuhinya lembaran-lembaran majalah sastra dan budaya Jakarta dengan sajak-sajaknya. Sebagian dari sajak-sajak yang ditulisnya pada masa-masa itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Luka Bayang. Kumpulan sajak-sajak 1950-1953 (12964). Sajak-sajaknya yang ditulisnya kemudian belum lagi dibukukan. Meskipun sajak-sajak yang ditulis setelah 1953 juga banyak, namun tidaklah sepenting yang ditulisnya pada tahun-tahun pertama ia menulis itu. Karena itu ia dibicarakan di sini dan tidak dalam periode sesudahnya.





















PERIODE 1953-1961

1.    Krisis Sastara Indonesia
Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’ seakan-akan kehilangan vitalitasnya. Asrul Sani yang beberapa lamanya sayik menulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Demkian pula Rivai Apin. Padahal kedua orang itu tadinya dianggap sebagai tumpuanharap yang akan melanjtukan kepeloporan Chairil. 
Sementara itu dalam kehidupan nasional pun kabut yang suram mulai tampak mengisi kemerdekaan ternyata tidak semudah yang diangankan ketika masih dijajajh dan ketika masih memperjuangkannya. Pemimpin-pemimpin banyak yang bosan berjuang lalu melakukan penyelewengan-penyelewengan . bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai merasuk merusak masyarakat dan negara. Pertikaian antara golongan-golongan politik kan nyata membuktikan bahwa bagi mereka yang penting bukanlah kehidupan bangsa dan negara. Adapula rakyat. Melainkan golongannya sendiri, partainya sendiri, bahkan diri sendiri saja.
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang diselenggarakan oleh golongan-golonganb kebudayaan Gelanngang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu telah dibahas kesulitan-kesulitan jaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi dan ekonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismael, Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh dan lain-lain.

2.    Sastra Majalah
Salah satu alasan utama yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit . Roman-roman  karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-1951-1952-1953 selalu muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh itu dengan alasan bahwa roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung di bawah Kementrian P.P & K berkali-kali mengalami perubahan status. Perubahan-perubahan status yang dilakukan antara sebentar, ditambah oleh penempatan pimpinan di tangan orang yang bukan ahli, pula kian tak mencukupinya anggaran yang tersedia, menyebabkan kemacetan produksinya.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggan / Siasat, Mimbar Indonesiam, Zenith, Pudjanggan Baru dan lain-lain.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini pertama kali dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya ‘Situasi 1945’ yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinannya.

3.    Beberapa Pengarang
NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho Susanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis saja-sajak yang sebagian besar dari antaranya dimuat juga dalam majalah yang dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.   
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumpulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958), memuat cerpen-cerpen tentang perjuangan kemerdekaan nasional yang dilakukan oleh para pemuda dan pelajar yang masih muda-muda usianya. Kumpulan ini kemudia di susul oelh Tiga Kota (1959) memuat cerpen-cerpen yang ditulis karena inspirasi dari tiga kota : Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta. Kumpulan cerpennya yang paling berhasil berjudul ‘Jembatan’.

A.A. NAVIS
Menurut usianya, Ali Bakri Navis yang kalau menulis menyingkat namanya menjadi A.A. Navis itu sebenarnya lebih tepat digolongkan kepada angkatan ’45. Ia lahir di Padangpanjang 17 November 1924. Jadi setahun kelahiran dengan Sitor dan lebih tua daripada Asru Sani, Pramoedya Ananta dan Rivai Apin. Tetapi ia baru muncul dalam gelanggang sastra indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul ‘Robohnya Surau Kami’.
Kumpulan cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Navispun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967).

TRISNOYUWONO
Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi baru pada tahun 1955 cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan penulisan cerpen-cerpen picisan dan mulai menulis secara lebih sungguh-sungguh. Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu yang menyakinkan. Kumpulan cerpen yang berikut berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya. Buku kumpulan cerpennya terakhir ialah Kisah-kisah Revolusi (1965). 
Salah sbuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu kemudian dikerjakannya kembali menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962).
Trisnojuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.

IWAN SIMATUPANG
Iwan Simatupang (lahir di Sabolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudia esai. Sesudah itu ia menulis cerpen, drama dan roman. Sajak akhirnya kelihatan dia tinggalkan. Memang peranan Iwan terpenting di lapangan prosa. Esai-esainya memberikan gaya dan kaki langit baru. Ia merasa tidak puas dengan segala alam pikiran yang sudah karatan, kemudian mencari ufuk-ufuk baru dengan logika dan kebebasan bahasa kata-kata. 
Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian di muat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul ‘Bulan Bujur Sangkar’, ‘Taman’, ‘RT Nol / RW Nol’. Kebanyakan rama sebabak. ‘Taman’ kemudian diterbitkan sebagai buku kecil berjudul Petang Di Taman (1966).
Di antaranya cerpen-cerpen patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tidak sadar.
Kecuali itu Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa diantaranya berjudul Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah (1968).

TOHA MOHTAR
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan !) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958).
Setelah menulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu.
Belakangan terbit pula romannya yang lain berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).

SUBAGIO SASTROWARDOJO
Meskipun Subagio Sastrowardojo belakangan ini lebih terkenal sebagai penyai dan bukunya yang pertama pun merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan  dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa saorang gadis yang karena mau setia  kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalau menghadapi hidupnya yang sepi.
Masih banyak lagi sajak-sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.


MOTINGGO BOESJE
Motinggo Boesje yang lahir di Kupangkota, Lampung, tanggal 21 Nopember 1937, hingga sekarang dikenal sebagai pengarang Indonesia yang paling produktif. Dalam tempo kurang dari sepuluh tahun sudah berpuluh-puluh buku yang ditulis dan diterbitkannya. Kebanyakan berupa norman-norman, ada yang agak pendek, tetapi banyak juga yang merupakan trilogi yang masing-masing mencapai 500 halaman lebih tebalnya.    
Dramanya Malah Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama-drama yang ditulisnya kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), nyonya dan Nyonya (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.
Cerpen-cerpennya kemudian di bukukan antara lain dalam Keberanian Manusia (1962), Nasihat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Roman-romannya yang mula-mula banyak yang merupakan simbolik perjuangan manusia dalam mempertahankan ekstensinya. Tidak menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang Palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengemukakan suatu persoalan sosial, seorang wanita yang hidupnya sudah ternoda sebagai wanita tuna susila ingin menjadi wanita baik-baik, menjadi ibu rumah tangga yang terhormat. Sebuah cerita rakyat Lampung ditulis kembali dengan baik sekali oleh Motinggo menjadi Buang Tonjam (1963). Untuk menyebut beberapa judul saja misalnya : Dosa Kita Semua  (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963),  Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama Barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.

PARA PENGARANG LAIN
Rijoni Pratikto (lahir di Tegal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Antara tahun 1952 dan tahun 1956 barangkali Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpen permulaan itu kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Ceita Pendek Lain (1951).
S.M Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajak-sajaknya sebagian dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpen-cerpennya yang berdialek dan melukiskan kehidupan masyarakat Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan pernah menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan romannya yaitu Nyai Dasima (1965).
Sukanto S.A lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen, tetapi hanya sebagian saja dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih banyak mencurahkan minatnya kepada penulisan cerita kanak-kanak.
Alex A’xendre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (lahir di Lahat tanggal 1934), menulis cerpen yang kemudian sebagian dikumpulkan menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian sastra (= cerita sindiran) tentang ‘Kisah-kisah dari Negeri Kambing’. Tahun 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul Mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tanggan.
Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934) pertama-tama menulis cerpen-cerpen yang kemudian sebagian dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1963). Sesudah itu ia menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964) dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak.




























4.    Beberapa Penyair
TOTO SUDARTO BACHTIAR
Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Palimanan, Cirebon, tanggal 12 Oktober 1929)  telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal ‘Ibukota Senja’ ditulisnya tahun 1951. Tetapi kebanyalan sajak-sajaknya ditulis sesudah tahun 1953, karena itu ia baru dibicarakan sekarang dan pada period sebelumnya, berlainan dengan kawan sebayanya Harijadi S. Hartowardojo yang setelah 1954 sedikit saja menulis sajak.
Nada umum sajak-sajak Toto Murung, terasing. Ia senantiasa mengidentifikasi dirinya dengan orang-orang malang yang melarat.

W.S RENDRA
Rendra yang semula nama lengkapnya Willibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini. Ia mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1954 dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan lembaran-lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya.
Sajak-sajaknya yang pertama menarik karena kesederhanaan dan kekayaan imajinasinya.

RAMADHAN K.H
Ramadhan K.H atau lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja  lahir di Bandung 16 Maret 1927, tetapi baru tampil namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Ia mula-mula menulis cerpen, kemudian labih banyak menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia Lorca ke dalam bahasa Indonesia  yang diterjemahkannya langsung dari bahasa spanyol. Karya-karya penting Lorca boleh dikatakan udah diterjemahkannya semua. Tetapi yang sudah terbit merupakan buku barulah dramanya Yerma saja (1959). 

KIRDJOMULJO
Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Sekitar tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat  dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalanan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjtunya tidak pernah terbit, meskipun konon naskahnya sudah disiapkan penyairnya. Banyak sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalaj tetapi belum lagi diterbitkan sebagai buku. Dan yang dimuat dalam majalah-majalah itu konon hanya sebagian kecil saja dari yang sudah selesai ditulisnya.

BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Belum juga mendapat kesempatan untuk menerbitkannya menjadi buku antara lain ialah Hartojo Andangdjaja (1930) M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), A.D Donggo (1932), Surachman R.M (1936) Ayatrohaedi (1939), Mansur Samin (1930) dan lain-lain. Beberapa orang diantaranya akan disinggung secara sepitas di bawah ini.

5.    Drama
Setelah beberapa tahun lamanya dunia penulisan drama Indonesia, hampir-hampir hanya mengenal Utuy T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun lima puluhan muncullah beberapa nama baru dalam penulisan drama indonesia. Dalam hubungan pembicaraan sajak dan cerpen tadi sudah disinggung beberapa nama seperti Motinggo Boesje, W.S. Rendra dan Kirdjomuljo yang ada juga menulis drama.

NASJAH DJAMIN
Nasjah Djamin lahir di Medan dalam tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskan di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun lima puluhan ia lebh banyak mencurahkan perhatiannya kepala seni lukis. Ia memang lebih dahulu terkenal sebagai pelukis daripada penulis.
Dramanya ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul Sekelumit Nyanyian Sunda juga (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul ‘Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya).
 
6.    Para Pengarang Wanita
NH. DINI
Nh. Dini yang nama lengkapnya Nurhajati  Srihardini (lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936), mulai menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang kalaupun berontak ialah berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia.

 








KELOMPOK 12
PERIODE 1961 SAMPAI SEKARANG

1.    Sastra dan Politik
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa saudah sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Para pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktif dalam kegiatan pergerakan kebangsaan pada masa itu. Bahkan ada di antaranya yang kemudial lebih terkenal sebagai politikus dari pada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Pun para pengarang pada awal revolusi bukanlah oran-orang yang bersikap a-politis. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis dan lain-lain merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan lain-lain merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik. Bahkan di antara mereka pun banyak juga yang aktif dalam politik praktis. Begitu pula para pengarang yang lebih muda-muda.
Juga adanya perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia.

2.    Manifes Kebudayaan dan Konperensi Karyawan Penagarang Se Indonesia
Atas usaha H.B Jassin dan beberapa orang lain penyelenggaraan majalah Kisah almarhum, sejak bulan Mei 1961 diterbitkan majalah Sastra. Sebagai ketua redaksi bertindak H.B Jassin. Sebagai redaktur penyelenggara D.S Moeljanto. Sedangkan pada nomor-nomor pertama turut pula M. Balfas sebagai anggota redaksi. Semuanya orang-orang lama dari majalah Kisah juga. Karena itu tidaklah mengherankan kalau kebijaksanaan redaksi majalah ini merupakan kelanjutan majalah Kisah.  
Seperti juga majalah Kisah, sastra juga mengutamakan memuat cerpen. Di samping itu juga sajak, kritik dan esai. Berbeda dengan pada masa Kisah, pada masa Sastra jumlah pengarang muda yang menulis esai sudah agak banyak. Beberapa orang pengarang baru muncul dalam majalah Sastra.
Pengarang-pengarang cerpen yang dalam Sastra mendapat keleluasaan untuk tampil dan berkembang antara lain B. Soelarto, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B.Jass, dan lain-lain.

3.    Para Pengarang Lekra
Supaya mendapat gambaran siapa dan apa saja buah tangan para pengarang Lekra, di bawah ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas. Patut dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang penerbitan. Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakannya penerbitan-penerbitan karya sastra berbentuk buku.  Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka, diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.  
Sementara itu, orang-orang Lekra pun disebar untuk menguasai media massa yang secara resmi bukan mereka punya. Pramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah seorang anggota Pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo. Melalui media massa ini dilancarkan dengan gencar berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap orang-orang dan golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan mereka.
4.    Para Pengarang Keagamaan
Meskipun partai-partai agama juga tidak ketinggalan mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan yang berinduk kepadanya, namun usaha-usaha mereka dalam bidang penerbitan boleh dikatakan sangat terbatas. Umumnya hanya terbatas pada ruangan-ruangan kebudayaan yang menumpang pada koran-koran partainya. Misalnya Lesbumi yang berinduk kepada NU pernah mempunyai ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai itu Duta Masjarakat.
Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berjudul Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn. Gema Lembah Cahaya (1964) diterbitkan oleh Pembangunan.
Diantara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M ., B. Jass, M.Jusa Biran, Moh. Dipenegoro dari agama islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakdi Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.
  
5.    Sajak-sajak Perlawanan tehadap Tirani
Diantaranya yang terbit Di Jakarta ialah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, Perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abdul Wahid Situmeang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa fakultas sastra lain-lain. Sedangkan di Medan terbit Ribeli 1966 (dengan dicetak yang merupakan kumpulan sajak bersama Aldian Aripin, Djohan A. Nasution dan Z. Pangaduan Lubis). 
Yang paling penting dari semua kumpulan sajak itu ialah Tirani dan Benteng buah tangan Taufiq Ismail. Kedua kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan tercetak :Tirani (1966) dan Benteng (1968).
Adanya protes sosial dan protes politik dalam sajak-sajak itu telah menyebabkan H.B Jassin memproklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66’ mulai sebuah tulisannya dalam majalah Horison (1966).
Terhadap Proklamasi Jassin tentang lahirnya ‘ Angkatan 66’ ini telah timbul berbagai reaksi. Rachmat Djoko Pradopo dalam tulisannya dalam Horisson juga (1967) menyambut proklamasi Jassin itu dengan kesimpulan bahwa “Angkatan 66 sastra Indonesia baru suatu kemungkinan” sedangkan nama ‘Angkatan 66’ dielakkan oleh Satyagraha Hoerip Soeprobo (Horison 1966) dan Arief Budiman (Pelopor Baru 1967). Mereka lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan).

6.    Beberapa Pengarang
B. Soelarto (lahir pada tanggal 11 September 1936 di Purworejo) menulis cerpen dan drama. Cerpen-cerpennya penuh dengan protes dan ejakan. Banyak cerpennya yang hanya merupakan catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial ketika ditulis. Dramanya Domba-domba Revolusi yang tadinya dimuat dalam Sastra (1962) itu ditulis dalam bentuk novela dan diterbitkan dengan judul Tanpa Nama (1963) oleh Balai Pustaka berjudul Domba-domba Revolusi (1968).
Bur Rasuanto (lahir di Palembang pada tanggal 6 April 1937) kecuali menulis cerpen, juga menulis sajak dan esai bahkan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam dan menjadi wartawan-wartawan perang Harian kami dan menulis laporan tentang perang Vietnam. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi  yang Berpeluh  (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajak yang ditulisnya semasa demontrasi awal tahun 1966 diterbitkan (dengan stensil) berjudul Mereka Telah Bangkit. Kemudian diterbitkan dengan tercetak di Medan (1967). Roman yang ditulisnya berjudul Sang Ayah (1969), sedang Manusia Tanah Air baru dimuat secara bersambung dalam Sk. Sinar Harapan (1969).
A.Bastri Asnin (lahir tanggal 29 Agustus 1939 di Muaradua, Palembang) menulis cerpen-cerpen yang diantaranya pernah mendapat hadiah tahunan majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan,  yaitu  Di Tengah Padang (1962) dan Laki-laki Berkuda ( 1963). Sekarang Bastari bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami.
























7.    Beberapa Penyair
TAUFIQ ISMAIL
Sebenarnya Taufiq Ismail (lahir tahun 1937 di Bukittinggi, tetapi dibesarkan di Pekalongan ) telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Tetapi baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke muka, ketika sajak-sajak yang ditulisnya dengan nama samaran Nur Fadjar diumumkan dengan judul Tirani  di tengah-tengah demontrasi para siswa dan pelajar menyampaikan “tritura”. Sajak-sajaknya itu seluruhnya ada 18 dan ditulis dalam waktu seminggu saja (antara tanggal 20 dan 28 Pebruari  1966) dan diterbitkan pertama kali dalam bentuk stensilan sebagai nomor khusus majalah Gema Psychologi.

GOENAWAN MOHAMAD
Goenawan Mohamad lebih dikenal sebagai seorang penulis esai. Esai-esainya tajam dan ditulis dengan penuh kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair yang berbakat. Produktif pula. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia ditengah alam sepi tanpa kata menjadi tema yang banyak kita jumpai dalam sajak-sajaknya, Senja Pun Jadi Kecil, Kota Pun Jadi Putih, Siapakah Laki-Laki Yang Rebah  Ditaman Ini?.

PENYAIR-PENYAIR LAIN
Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah sekitar tahun enam puluh. Kecuali menulis sajak Saini banyak juga Menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerahnya, Bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya Nyanyian Tanah Air (1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.  
Sapardi Djoko Danamo menulis sajak sangat berlimpah-limpah. Dalam sajak-sajaknya yang lebih kemudian kelihatan kematangan dalam kesederhanaan pengucapan yang langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1967 diterbitkan akhir 1969 dengan judul duka Mu Abadi.
Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sebenarnya sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu dua sajaknya pada masa itu.
Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1983) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah.  

8.    Para Pengarang Wanita
Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugarti Siswandi, Ernisiswati, Hutomo, Enny Sumargo dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri , Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bupsy Soenharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie Said atau yang nama lengkapnya Ny. Titie Raja Said Sadikun ialah seorang pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 11 Juli 1935. Beberapa lamanya Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buk berjudul Perjuangan dan Hati Perempuan (1962). Sebagian besar dari cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya ‘Malaria’ dan ‘Kalimutu’ merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.


9.    Drama
Kegiatan di dalam pementasan drama kian meningkat juga. Moh. Dipenegoro (lahir di Yogyakarta pada tanggal 28 Juni 1928) yang merupakan ketua grup drama Teater Muslim di Yogyakarta banyak menulis lakon-lakon yang diambilnya dari sejarah dan cerita-cerita islam. Antara lain ia menulis Iblis, dan Surat pada Gubernur. Lakon-lakon itu berpuluh-puluh kali dipanggungkan oleh Teater Muslim, baik  di Yogyakarta maupun dikota kota-kota lain. Sebelum Moh. Dipenegoro telah dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Al-Qur’an secara puitis. Sebagian dari hasil terjemahan itu dimuat dalam Manifestasi susunan M. Saribi Afn. Sayang lakon-lakon yang ditulisnya sampai sekarang belum juga diterbitkan.
Yang banyak pula menulis naskah-naskah drama yang berdasarkan kisah-kisah Islam ialah M. Yunan Helmy Nasution. Dia memimpin Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI) dan telah menulis dan mementaskan drama-drama Iman  dan lain-lain.
Saini K.M yang namanya sudah disebut sebagai penyair, juga penulis drama untu pementasa  akademi teater dan Fim serta teater perntis Bandung. Ia banyak mengambil kisah-kisah lama yank di kerjakan menjadi drama sajak, antara lain prabu Geusan ulun yang telah berkali-kali dipentaskan
B. Soelarto yang sudah dikenal dengan dramanya Domba-domba revolusi kadang-kadang juga mengumumkan dramanya yang baru dalam majalah-majalah di Jakarta

10.Esai
            Penuisan esai kian hari ternyata kian mendapat perhatian para pengarang kita.pada zaman angkatan 45 penulis-penulis esai dapat di hitung dengan jari : Chairil  Anwar, asrul sani, Ida Nasution , Rivai apin, Trisno Sumardjo,Harjadi S.Hartowarjodo ; Sumantri merto dipouro ,Bahru rangkuti
Boejoeng  Saleh Poeradisastra , dan Soetjadmoko. Setelah itu yang banyak menulis esai  ialah nugroho Notosusanto,wiratmo Soekito dan iwan Sipanupang
         Diantara yang muncul lebi kemudian tadi sudah disebut Goenawan Mohamad.Di sampng itu arief Budiman { yang dahulu namanya Soe Hok Djin} ,D,A, peransi, Dick Hartoko,Andre hardjana, Sanento Juliman,Hartojo Ananggdjaja, dan lain-lain.        
























STRUKTURALISME : OTONOMI SASTRA

6.1    Sejarah Perkembangan dan Tokoh-tokoh
Pandangan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang otonom telah ada sejak Aristoteles menulis buku yang berjudul Poetics. Dalam buku tersebut ia menjelaskan syarat-syarat utama sebuah plot dalam suatu sarya sastra yang bersifat tragedi. Syarat-syarat itu ialah (1) urutan dan aturan : dalam karya sastra, urutan peristiwa harus masuk akal , sekurang-kurangnya harus ada awal, tengah, dan akhir, suatu tindakan harus ada sebab, (2) keragaman : unsur-unsur karya sastra harus memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal agar jelas perubahan nasib tokoh-tokoh, (3) keseragaman setiap unsur dalam karya sastra tidak dapat ditukar letaknya tanpa mengubah makna karya tersebut, dan (4) hubungan : setiap peritiwa dalam karya sastra tidak mesti sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan, tetapi mungkin terjadi dalam rangka keseluruhan karya tersebut (Teeuw, 1984:12).
Pada zaman dahulu, karya sastra berbentuk lisan. Tukang cerita adalah orang yang paling tahu dengan ceritanya. Apa yang diucapkannya adalah benar (sehubungan dengan b) sementara masyarakat hanya mendengarkan dan kalau perlu bertanya.
Untuk itu, Saussure mengemukakan tiga asumsi dalam menjelaskan sistematika bahasa : (1) hakikat bahasa yang sistematis, yaitu bahwa keseluruhan lebih berarti daripada penjumlahan bagian-bagian; (2) konsep hubungan unsur bahasa, yaitu bahwa entitas linguistik didefinisikan dalam hubungan kombinasi dan kontras antara yang satu dengan yang lain.; (3) hakikat arbitrer unsur-unsur bahasa, yaitu bahwa bahasa didefinisikan dalam istilah fungsi dan tujuan yang di emban, bukan dalam kaitan dengan istilah kualitas yang terpisah-pisah (Schleifer, 2002:1).
Dari karya Ferdinand de Saussure itulah berkembang kajian struktural dalam bidang sastra yang dimulai oleh Roman Jakobson. Menurut Jakobson, semua tidak bahasa, tertulis atau lisan, terdiri atas enam unsur yaitu : adresser, addrese, massage, contact, code dan context. Masing-masing unsur itu disejajarkan dengan fungsi bahasa, yaitu : emotive, conative, poetic, phatic, metalingual, dan referintial ( Issacharoff, 2003:2). 

6.2    Kerangka Teori Struktural
Hal yang menarik dari Formalis Rusia adalah apa yang mereka sebut dengan penyulapan dan pengasingan. Kedua istilah itu dianggap sebagai aktivitas yang menimbulkan sifat kesastraan (literariness) dalam sebuah teks. Teks sastra adalah teks yang sudah disulap oleh pengarangnya sehinggan menimbulkan efek pengasingan bagi pembaca. Pengasingan tersebut memperlambat percerapan pembaca terhadap sebuah teks tetapi bukan sekedar pengasingan yang mempelambat dan tak berguna. Justru dengan pengasingan itu pembaca akan dapat menangkap kenyataan baru dalam arti yang seluas-luasnya, lebih dari arti denotatif yang terkandung dalam rangkaian kata-kata. Dengan demikian pembaca sadar akan kenyataan yang sesungguhnya.
Pengasingan yang dimaksud dalam kaitan ini adalah pengasingan dari bahasa sehari-hari. Artinya, penggunaan bahasa dalam karya sastra idak lagi sama dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang komunikatif-praktis.
Khususnya dalam karya naratif, Formalis  mengemukakan tiga istilah yang berhubungan peristiwa :motif, fabula, dan sizjet. Motif adalah kesatuan peritiwa terkecil yang ada di dalam karya sastra (Satu kesatuan waktu, tempat, dan tindakan) ; fabula adalah rangkaian motif demi motif menurut logika dan kronologis sebagaimana dapat direkontruksi pembaca melalui analisis plot ; sedangkan Suzjet adalah rangkaian peristiwa  sebagaimana adanya dalam karya sastra, dan awal sampai akhir cerita.

6.3    Kerangka Kritik Satruktural
6.3.1        Kritik Struktural Berpola
Sebelum melakukan kritikan, kritikus terlebih dahulu menentukan apa yang mereka cari. Apa yang dicari tersebut tentulah ciri-ciri dari unsur-unsur (struktur) yang membangun karya sastra.
a.       Karya Sastra Naratif (Prosa)
Ke dalam karya sastra naratif atau prosa tercakup novel dan cerpen. Walaupun terdapat sitilah roman, namun dalam kaitan penjelasan ini, roman disamakan dengan novel.
1.      Plot / Alur
Plot atau alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologis saling berkaitan dengan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. 
Secara umum dibedakan dua plot : tradisional dan konvensional. Plot yang menderetkan rangkaian peristiwa (exposition), menuju  puncak (complication) ,di puncak(climax),dan akhirnya penyeesaian (resolution),disebut plot tradisional,sedaangkan plot yang tidak terikat kepada sitim penderetan peristiwa seperti itu disebut plot konversional
Kedua jenis plot diatas menggunaan beberapa macam teknik bercerita.dalam hal ini dikenal empat teknk cerita :kilasbalik(flashback),padahan(foreshadowing), penggelapan(mitery),dan kejutan(suspens)
2.       Karakter/tokoh                                                                                      setiap karya sastra naratif namun karakter/tokoh.justrutindakan tokoh lah yanng eggerakan peristiwa sehingga menimbulkan berbagai peristiwa lanjutan .tokoh juga yang membedakan sebuah karya naratif dengan tulisan tulisan deskriptis.tokoh merupakan komponen penting dalam sebuah cerita . apabila tokoh tidak ada sulit menggolaongkan karya tersebut kedalam karya karya sastra naratif karena terjadinya plot adalah karena tindakan dan akibat dari tindakan tokoh tokoh
3.      Latar                                                                                                         latar adalah tempat uruta waktu ketika tindakan berlasung .latar sebuah episode dalam karya sastra adalah lokasi tertentu secara fisik tempat tindakan terjadi(Abrams,1971;157)tinadakan atau peritiwa dan karalter atau tokoh selalu berada dalam referensi waktu dan tempat . latar merupakan faktor utama dalam memformulasi persoalan da berpengaruh lansung dalam pengungkapan tema. Latar tidak harus sebuah temoat yang secara fisik/ nyata ada daam realitas ,tetapidapat juga berupa kondisi  psikhis dan moral suatu suatu keadaan (taylor, 1981:60-70)
4.      Sudut pandang                                                                                        sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan tempatberada narator dalam menceritakan kisah nya . seiap kalimat di dalam karya sastranaratif merupakan perkataan yang di ucapkan oleh seseorang .ucapan ini mungkin diucapkan oleh seseorang pencerita (narrator) tentang perbuatan tokoh-tokoh . dalam hal yang pertama (ucapan pencerita ), si pencerita idak tau persis apa dan bagaimana ucapan tokoh . ia hanya menceritakan dengan bahasanya sendiri bagaimana tokoh-tokoh berbuat berucap,dan bagaiman suasana yang ada di dalam cerita .
5.      Gaya bahasa                                                                                            gaya bahasa dalam karya sastra naratif merupakan bentuk bentuk ungkapan yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikanceritanya.penggunaan bahasa dalam mengungukapka ide atau tema yang di ajukan dalm karya sastra dapat beragam dari pengarang yang satu ke pengarang yang lain  
b.      Karya sastera non-naratif (sajak)                                                               kedalam karya sastra non-naratif  termasuk segala jenis sajak, baik yag lasik {pantun,grindam,seloka,teka-teki,a sebagainya} maupun yang baru{sajak bebas},selanjutnya disebut sajak. Pola-pola yang dimksdkan dalam kritik terhadap karya sasra non-naatif adaah sebagai berikut.                                                 Pertama,bait dan baris.  Bait dan bais adalah unsur formal sebuah sajak                                                                                        kadua,unsur misikalias.unsur ini brkaitan dengan bunyi,irama, persajakan dan sebagainya.                                                 Ketiga,diksi. Ekspresi saja ama bergantung pada disi atau piliha kata yang disususun penyair menjadi baris-baris dan bait.
                 Ke empat, stuktur penceritaan sajak, tedapat tiga macam penceritaan dalam sajak : molog,dialog, dan neratif.
c.       Karya satra Berbentuk Drama
             Ke dalam karyasastra bebentuk drama termasuk semua teks yang unsur utamanya adalah dialog. Dengan demikian tidak di bedakan drama klask ,sehari-hari/ modern  

6.3.2        Krtik Struktural Takpebola
                   Sesuai dengan mananya, kritik ini tidak di dahului dengan menentuan pola-pola apa yang akan di bahas. Tritikus tidak mentpkan trelebih dahulu apa yang yang akan mereka cari. Hubungan antararunsur dlihat dan ditetapkan sewaktu proses pengeritikn berlangsung. Oleh sebab itu diandaikan bahwa tidak ada pola keja yang sama untuk semua jenis karya sastra  dibahas sesuai dengan dan sejauh mana Keerkaitan Krtikus/peneliti
        Esai-esai yang membahas karya sastra dapat dimasukkan kedalam bentuk Kritik struktural tak berpola. Pada dasarnya, kritikus memahami unsur srktur karya yang dibahasnya, tetapi tidak di ngkapkn secara formal. Aspek plot, karakter, latar, pengisahan, dan gaya bahasa disampaikan secara sekaligus                     





                             













Pragmatisme :resepsi sastra
            Teori tentabgng struktur hanya dimaksudkan untuk menjelaskan lapisan permukaan teks sastra . sruktur di anggap bentuk sehingga di anggap tidak menyentuh isi karya sastra .
            Sebagai salah satu titik koordinat kritik sastra , pendekatan progmatik menempatkan karya sastra sebagai objek sajian maknanya tergantung pada pembaca (Abrams,1971:3;teeuw,1984;50).
            Teori –teori satra yang membicarakan pendekatan progmatik di kenal dengan resepsi satra(reception nesthetics)
            Sebagai perbandinagan,dalam perkembanga linuistik , para linguis gramatikal transformasi generatif dan semantik konvensional juga melihat hal yang sama .mereka mengakui bahwa banyak fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik struktural .
            Untuk penyelesaian masaah ini para linguis mencoba untuk mencari jalan keluar dengan menggunakan ilmu progtamatik.prakmatik adalah studi bahasa dan komunikasi dalam kaitannya dengan pikiran ,sosial , dan budaya
            Kedua perkembangan itu (pragmatik dalam sastra dan linguistik),pada dasarnya, sejalan dalam pengertian sama-sama diawali dengan di pengaruhi oleh filsafat pragmatisme.pragmatisme berkembang di AMERIKApada akhir abad ke-19 yang merupakan pandangan filsuf seperti MANUEL KHAN  ,CHARLES SANDER PIERCE, JHON DEWEY,dam WILLIAM JAMMES
            Berikut ini di kemukakan beberapa aspek teoritis dari beberapa ahli baik sebagai peritis maupun pengembang resepsi sastra .
                        7.1  MUKAROVSKY dan VADICKA
            Jan MUKAROVSKY dan murid nya velix vodoka dianggap sebagai perintis perkembangan resepsi sastra (pemahaman sastra melalui pendekatan progmatik). MUKAROVSKY adalah seorang srukturalis praha , suatu kelompok linguis yang merupakan perikembangan lanjutan dari formalis rusia yang lebih tertarik dengan nilai dan fungsi puitika dan estetika bahasa . menurut MUKAROVSKY,dalam seni bukanlah hasil yang di pentingkan ,tetapi proses pemberian makna ,sementara karya seni baru bermakna setelah berinteraksi dengan penikmat. Khususnya satra ,pembacalah yang emberi makna dan karya satra hanya menyediakan kode makna . Beberapa dengan ingarden ,menurut kodika justru pembaca mempunyai pemungkinan kontritasi yang banyak .
                        7.2. JAUSZDAN ISER
            Pada tahun 1960-an muncul dua orang tokoh ilmu sastra di GERMAN barat , kedua tokoh itu adalah HANS GOBERT JAUSZ dan WOLFGANG ISER.
Dalam kaitan ini jausz menawarkan pebdekatan penulisan sejarah sastra yang memberikn perhatian terhadap dinamika sastra . dinamika sastra akan terlihat pada aktifitas dan kesan yang di timbulkan oleh pembaca baik secara diakronis maupun singkronis.
Menurut JAUSZ,intepretasi saeorng pembaca perhadap sebuah teks satra di tentukan oleh apa yang disebutnya dengan orison penerimaan .horison penerimaan kadang-kadang disebut horison harapan pembaca, terbagi kepada dua :        (1). yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra dan
(2). yang tidak bersifat estetik atau yang tidak ada didalam teks sastra ,tetapi suatu yang melekat pada pembaca.

7.3. pembaca dalam karya sastra                                       
Jadi ,yang dimaksud pembaca biasa disini adalah masyarakat umum yang membaca karya sastra aspek yang di teliti dalam resepsi sastra dalam kaitannya dengan pembaca biasa ini adalah reaksinya terhadap karya sastra pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian . ia membaca karya sastra dengan tujuan tertentu .pembaca ideal yang disamakan dengan pembaca yang di dalam teks terbagi kepada pembaca imlishit adalah orang yang tidak di sebutkan secara jelas di dalam teks .
            7.4. tentang metode
a)     Kepada pembaca , perorangan atau kelompok ,disajikan atau diminta pembaca karya sastra . sejulah pertanyaan dalam bentuk teks atau angket yang berisai tentang permintan tanggpan ,kesan,penerimaan terhadap kaeya sastra yang di baca tersebut diajukan untuk diisi.
b)     Kepada pembaca, perorangan atau kelompok, diminta membaca karya sastra . kemudian mereka diminta untuk menginterpetasikan karya sastra tersebut secara bebas atau dibatasi pada aspek tertentu
c)      Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat persepsi  mereka terhadap karya sastra (sebuah karya sastra, sekelompok karya sastra,karya sastra seseorang penulis, dan seterusnya.
     

  
                       














Pengarang:manusia super
Kata pengarang pada judul di atas berarti pencipta dengan kat pencipta termasuk berbagai istilah dengan pengertian pencipta seperti penulis , sastrawan , penyair ,novelis ,dramawan,dan termasuk pencipta sastra lisan meskipun sering tidak di nyatakan (anonim)
                     Beberapa pembahasan tiori  dari dimensi sejarah.
a.       Aspek kesejarahan akan memperlihatkan gambaran yang jelas tentang asal- usul dan perkebangan pemikirn manusia dalam upayanya mencari dan memverifikasi ilmu pengethuan.
b.      Tidak satupun ilmu pegetahuan yang muncul begitu saja dari kekosongan, tampa diawali dengan suatu perkembangan yang diarahkan nya ke pekembangan seperti saat ini.
c.       Prospek dan prespektif sebuah teori dalam ilmu pengetahuan amat ditentukan oleh latar belakang munculnya dan keberadaanya saat ini.
d.      Apabila tidak dmulai dari aspek kesejarahan, ada kemungknan dalam penerapanya akan terjadi kesalah pahaman  sehingga aka mengaburkan arah yang akan dituju.   
e.       Khusus sehubungan dengan negeri Greek atau Yunani Kuno, samua pakar tahu bahwa negeri itu merukan /dianggap sebagai tempat perkembangan nya berbagai cabang ilmu pengetahuan, walau pun di ilmu pengatahuan, walaupun dimasa itu ilmu pengetahuan, walaupun di masa itu ilmu pengetahuan baru dalam taraf pemikiran filsafat, belum sampai pada taraf sistematika ilm, apalagi pada taraf penerapanya.
f.        Teori-teori dalam lmu sastra tidak dapat pahami dengan baik tampa pengetahuan saperlunya menganai  sejarah perkembanagan teori sastra sejak zaman kebudayaan klasik. Bahkan diakui bahwa diskusi-diskusi dari jaman yunani Kuno danLatin Klasik, lebih dari dua ribu tahun yang lalu, masih etap aktual

4.1  Aspek Ekspresif sastra
Sikana (1986:20-31) dengan ringkas memperlihatkan sejarah kritik sastra di Yunani dan Romawi.  Aspek mimesis, karya sastra meniru  alam, ditekankan oleh plato dan aristoteles, walaupun keduanya mempunyai pendapat yang berbeda tentang peniruan aam ini. Tentang krya sastra yang bertruktur juga telah ditemukan oleh aristoteles dalam bukunya Poetics.
 Di dalam bukunya buku yang dalam bahasa aslinya tersebut berjudul Pery Hypsous, longinus menjelaskan (hal yang memungkinkan timbulnya) Keagungan (  sublim) sebuah karya. Ia emngemukakan lima kreteri, yaitu (1). jenius yang kreatif, (2). wawasan yang agung, (3). Emosi dan nafsu, (4) retorik: majas dan diksi, dan (5)pengubahan yang mulia.
           Karya sAstra yang agung harus mampu membangktkan emosi pembaca,  membawa pembaca ke alam fiktif karya sastra sehingga memancarkan keinginan-keinginan yang di kawal oleh wawasan yang agung tadi .retorik,majas ,dan diksi tertuju pada karya .

4.2  keunggulan pengarang
pengaramng adalah orang yang pandai ;ia adalah filsuf yang menguasai cara berpikir manusia pada suatu zaman .
   kata author berarti “pengarang”;apbila ditambah dengan akhiran-ity,authority berarti “berwenag “ atau “berkuasa”.jadi pebggunaan  keta author untuk”pengarang” berarti bahwa seorang pengarang adalah seorang yang berwenang dan berkuasa .misalnya adalah ,”apa yang di kuasai oleh pengarang ?”pengarang adalah penguasa bahasa ;orang yang ,karena penguasaannya terhadap bahasa ,mampu menciptakan kenyataan lewat bahasa yangtidak sama dengan kenyataan sehari-hari
   pengarang adalah orang yang telah menghidupkan kata yang telah mati,pengarang adalah orang yang mempunya kepekaan yang tinggi terhadap persoalan kehidupan manusia .

4.3  Kerangka Kritik Pendekatan Ekspresif          
Untuk menyelami jiwa penyair atau sastrawan pada umum nya , para kritikus /peneliti menggunakan pendekatan ekspresif ,pendekatan yang menitik beratkan kajian nya pada pengarang (pencipta).dengan endekatan ini para kritikus /peneliti menganggap atau merasa bertemu dengan si aku penciptanya: dalam puisi adalah si aku penyair (aku-lirik),da dalam prosa adalah si aku pengarang .
   Pendektan eksprsif mempunyai kerangka kritik msebagai berikut ini:
a)     Pendekatan ekspresif hubungan erat dengan kajian kajian sastra sebagai karya yang dekat dengan sejarah ,terutama sejarah yang berhubungan dengan denga kehidupan pengarangnya .
b)     Karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang .gerak  jiwa ,pengembaran imajinasi dan fantasi pengarang terlukis dalam karyanya.

Facebook Twitter RSS