ilmu sastra
Diposting oleh
jefri_rancak
Senin, 19 Desember 2011 at 19.50
0
komentar
Labels :
PERIODE 1945-1953
1.
PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pengarang
yang dilahirkan di Blora tanggal 2 februari 1925 ini, meskipun sudah mulai
mengarang sejak zaman Jepang dan pada masa awal revolusi telah menerbitkan buku
Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra
Indonesia pada tahun 1949 ketika cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam
penjara diumumnkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara
mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. ‘Blora’ ditulis dalam gaya
yang sangat padatg dan menyenakkan, dimuat pertama kali dalam majalah Indonesia
(1945). Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lain yang juga ditulis Pram
dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
Perburuan
ialah sebuah fiksi (=cerita rekaan) yang berdasarkan pemberontakan Peta
(Tentara Pembela Tanah Air jaman Jepang) yang gagal terhadap Jepang, karena
salah seorang di antara Shodancho yang
akan berontak itu berkhianat.
2.
MOCHTAR LUBIS
Mochtar
Lubis lebih terkenal sebagai wartawan. Surat kabar yang dipimpinannya, Indonesia
Raya, dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak akhir tahun 1956
ditahan dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hampir sembilan tahun ia disekap terus
oleh rezim pemerintah Soekarno, tanpa pemeriksaan. Ia baru dikeluarkan lagi
pada tahun 1966 ketia rezim Soekarno
mulai tumbang. Sekeluarnya dari tahanan ia menerbitkan dan memimpin majalah
sastra Horison, bersama-sama H.B.
Jassin, Taufiq Ismal, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, dan lain-lai. Sedangkan
surat kabar Indonesia Raya baru
terbit lagi tahun 1968.
Ia
dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1922 dalam sebuah keluarga Batak
Mandailing. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di lapangan penerangan.
3.
UTUY TATANG SONTANI
Pada
saat-saat pertama Jepang menginjakkan kaki ke Bumi Indonesia, pengarang kelahiran
Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa
Sunda, antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera
(1943). Mengikuti anjuran Kantor Pusat Kebudayaan ia pun menulis dalam bahasa.
Mula-mula ia menulis sajak. Pada permulaan kemerdekaan ia menulis drama. Meski
ia kemudian menulis roman dan cerpen juga, namun ia lebih terkenal sebagai
seorang pengarang drama.
4.
SITOR SITUMORANG
Pengarang
kelahiran Harianboho, Tapanuli, tanggal 2 Oktober 1924 ini sudah mulai menulis
esei, kritik, sajak, bahkan juga cerpen pada akhir tahun empat puluhan. Tetapi
namanya menjadi terkenal dan terkemuka barulah mulai tahun 1953, yaitu ketika
ia pulang dari Eropa dan menulis sajak, drama, cerpen, esei dan lain-lain
bentuk sastra secara melimpah-limpah. Kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Surat Kertas Hijau (1954) yang terdiri
dari dua kumpulan sajak ‘Surat Kertas Hijau’ dan ‘Orang Asing’. Dalam kumpulan
ini Sitor kebanyakan mempergunakan soneta dalam mengisahkan pengalaman dan
petualangannya selama di Eropa.
5.
AOH K. HADIMADJA
Aoh
K. Hadimadja yang kadang-kadang juga mempergunakan nama samaran Karlan Hadi,
mulai muncul dalam dunia sastra Indonesia pada masa sebelum perang.
Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Poedjangga
Baroe. Ketika itu ia menjadi seorang employee di perkebunan karet
Parakkansalah, Sukabumi, berkenalan dengan sastra tatkala dia berbaring di
ranjang sakit sanatorium paru-paru Cisarua. Lalu ia pun masuk ke dalam
lingkungan keluarga pujangga baru. Sejak itu ia menetapkan bahwa kesenian,
terutama kesusastraanlah yang menjadi idaman hidupnya.
Untuk
beberapa lamanya ia bekerja di Balai Pustaka, kemudian berangkat ke Sumatera di
mana ia berkesempatan memimpin Syarahan Mingguan Mimbar Umum di Medan, yang mendapat minat dari para pemuda yang
menaruh perhatian kepada sastra.
6.
M. BALFAS dan RUSMAN
SUTIASUMARGA
M.
Balfas dan Rusman Sutiasumarga ialah dua pengarang cerpen yang sering
digolongkan kepada para pengarang Angkatan ’45, meski jumlah buah tanggannya
tidaklah seperti para pengarang yang sudah dibicarakan terlebih dahulu.
M.
Balfas (lahir di Jakarta 25 Desember 1922) lebih terkenal sebagai prosais,
meski ia pun ada juga menulis satu, dua buah sajak.
Rusman
Sutiasumarga (lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917) mulai menarik perhatian pada
tahun 1946 ketika cerpennya ‘Gadis Bekasi’ mendapat hadiah dari Balai Pustaka.
7.
TRISNO SUMARDJO
Trisno
Sumardjo (lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916) kecuali sebagai pengarang
dikenal sebagai pelukis. Ia sering mengadakan pameran lukisan-lukisannya, baik
di indonesia maupun di luar negeri. Ia lama dan berkali-kali terpilih sebagai
sekretaris B.M.K.N. dan terakhir menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta.
Minatnya
terhadap kesenian sudah diperlihatkannya pada masa awal revolusi. Bersama-sama
dengan S. Soedjojono ia menerbitkan majalah seniman
(1947) di Solo. Di samping itu ia dengan tekun terus menerjemahkan
drama-drama pujangga Inggris Willian Shakespeare. Sebagai pengarang ia sejak
semula menulis sajak, cerpen, sandiwara, esai, kritik dan lain-lain.
8.
MH. RUSTANDI KARTAKUSUMA
Barangkali tidaklah terlalu
tepat menggolongkan Mh. Rustandi Kartakusuma kepada Angkatan ’45.
Tulisan-tulisan agak berbeda dengan buah tangan para Angkatan ’45 baik isi
maupun bentuknya. Ia sendiri tidak menganggap dirinya tergolong kepada Angkatan
’45. Tetapi ia mulai muncul dan mengumumkan tulisan-tulisannya pada akhir tahun
empat puluhan berupa sajak, drama, cerpen, dan esai. Esai-Esainya tentang
sastra, seni dan filsafat dimuat dalam berbagai majalah kebudayaan terkemuka
pada waktu itu seperti Indonesia,
Gelanggang / Siasat, Mimbar Indonesia dan Pudjangga Baru.
3. Pengarang Wanita
Seperti
juga pada masa sebelum perang, para pengarang wanita tidak banyak jumlahnya.
Sekitar tahun lima puluhan kita hanya mengenal Ida Nasution (Supangat), S.
Rukiah (Kertapati), St, Nuraini (Sani), dan Suwarsih Djojopuspito. Walaujati
dan St. Nuraini terutama dikenal sebagai penyair, meskipun sebenarnya mereka
pun ada juga menulis Prosa, baik cerpen, esai, maupun novela. Suwarsih
Djojopuspito hanya menulis cerpen. Hanya S. Rukiah yang dikenal baik sebagai
penyair maupun penulis prosa.
Ida
Nasution ialah seorang pengarang esai yang berbakat. Ida menulis beberapa buah
esai yang dimuat dalam majalah-majalaj. Tetapi ia kemudian menjadi korban
revolusi. Ia hilang ketika dalam perjalanan Jakarta-Bogor (148).
Walujati
(lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1924) mulai menulis sejak pada
masa-masapertama revolusi. Sajaknya ‘Berpisah’ mendapat pujian dari Chairil
Anwar sebagai sajak romantik yang menjadi. Sejak itu ia banyak menulis sajak.
Pada
tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman berjudul Pujani. Konon masih ada lagi roman yang ditulisnya, tetapi belum
juga kunjung terbit.
St.
Nuraini yang lahir di Padang pada tanggal 6 Juli 1930 menulis sajak, cerpen,
esai dan terutama menerjemahkan hasil sastra asing. Ia beberapa lamanya bekerja
sebagai sekretaris redaksi Gelanggan /
Siasat bersama antara lain Asrul Sani yang kemudian untuk beberapa lamanya
pernah menjadi suaminya. Dalam sajak-sajaknya terasa sekali kewanitaanny. Salah
sebuahnya sajaknya halus dan lembut
sekali melukiskan perasaannya sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.
S.
Rukiah yang lahir di Purwakarta tanggal 25 April 1927 juga menulis sajak.
Bahkan sajak-sajaknya yang dimuat dalam bukunya Tandus (1952) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N tahun 1952
untuk puisi.
Sebagai
pengarang prosa yang tak pernah ketahuan menulis sajak ialah Suwarsih
Djojopuspito (lahir di Bogor tanggal 20 April 1912). Pada masa sebelum perang,
menjelang Jepang datang (tahun 1941), ia menerbitkan roman yang ditulisnya
dalam bahasa Belanda, berjudul Buiten het
Gareel (Di luar garis). Terbitlah roman yang ditulisnya dalam bahasa sunda
tahun 1937, berjudul Marjanah. Buku
kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Tujuh
Cerita Pendek (1951). Tetapi kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Empat Serangkai (1954).
4. Beberapa pengarang lain
Berhasil
menerbitkan buah tangan mereka menjadi buku. Misalnya Barus Siregar (lahir di
Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya dengan
judul Busa di Laut Hidup(1951). Zuber
Usman (lahir di Padang tanggal 5 Desember 1916) menerbitkan sekumpulan
cerpennya dengan judul Sepanjang Jalan
dengan beberapa Cerita Lain (1953). SK. Muljadi (lahir di Madium tanggal 23
Desember 1925) menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya dengan judul Kuburan (1951), Saleh Sastrawinata
(lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915) menerbitkan sekumpulan cerpen
berjudul Kisah Sewajarnya (1952), S.
Mumdingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir tanggal 24 April 1922)
menerbitkan sebuah roman berjudul Jaya
Wijaya (1952). Muhammad Dimyanti yang kadang-kadang mempergunakan nama
samaran Badaruz zaman (lahir di Solo sekitar 1914) menerbitkan sekumpulan
cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa (1951),
R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St. Palindih menerbitkan dua buah
sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949)
dan Cendera Mata (1950), di samping
itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung
Kasarung (1949) dan lain-lain.
P. SENGOJO
Nama
sebenarnya ialah Suripman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926.
Kalau menulis sajak ia mempergunakan nama samaran P. Sengojo. Nama Suripman
dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen. Disamping
itu masih ada lagi nama-nama lain yang dipergunakannya sebagai samaran.
M. ALI
Nama
lengkapnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari
keturunan India. Ia menulis sajak, cerpen dan Sandiwara. Banyak dimuat dalam
majalah-majalah Pujangga Baru, Zenith,
Mimbar Indonesia, Gelanggang / Sisasat, Konfrontasi, Indonesia dan
lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwaranya yang terbaik kemudian di
bukukan dalam sebuah kumpulan berjudul Hitam
atas Putih (1959).
DODONG DJIWAPRADJA
Dodong
sudah menulis sajak pada sekitar tahun 1984. Sajaknya ‘Cita-cita’ yang dimuat
dalam majalah Gena Suasana tatkala
masih diasuh oleh Chairil Anwar, merupakan salah satu sajak yang jernih.
Sajak-sajaknya kemudian banyak dimuat dalam majalah-majalah terkemuka.
Ia
dilahirkan di Garut pada tanggal 28 September 1928. Kecuali menulis sajak,
kadang-kadang Dodong pun menulis cerpen dan esai. Sajak-sajaknya yang
ditulisnya kian matang. Citra puisi pada sajak-sajaknya menemukan bentuknya
yang sederahan, orisinal dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan
salah satu seorang penyair Indonesia terkuat di samping Rendra.
HARJADI S. HARTOWARDOJO
Harjadi
Sulaeman Hartowardojo mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada sekitar tahun 1950.
Ia sangat produktif, sehingga untuk beberapa lama dipenuhinya lembaran-lembaran
majalah sastra dan budaya Jakarta dengan sajak-sajaknya. Sebagian dari
sajak-sajak yang ditulisnya pada masa-masa itu kemudian dikumpulkan dan
diterbitkan menjadi buku berjudul Luka
Bayang. Kumpulan sajak-sajak 1950-1953 (12964). Sajak-sajaknya yang
ditulisnya kemudian belum lagi dibukukan. Meskipun sajak-sajak yang ditulis
setelah 1953 juga banyak, namun tidaklah sepenting yang ditulisnya pada
tahun-tahun pertama ia menulis itu. Karena itu ia dibicarakan di sini dan tidak
dalam periode sesudahnya.
PERIODE 1953-1961
1. Krisis Sastara Indonesia
Setelah
Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang Seniman
Merdeka’ seakan-akan kehilangan vitalitasnya. Asrul Sani yang beberapa lamanya
sayik menulis esai, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastra
lainnya. Demkian pula Rivai Apin. Padahal kedua orang itu tadinya dianggap
sebagai tumpuanharap yang akan melanjtukan kepeloporan Chairil.
Sementara
itu dalam kehidupan nasional pun kabut yang suram mulai tampak mengisi
kemerdekaan ternyata tidak semudah yang diangankan ketika masih dijajajh dan
ketika masih memperjuangkannya. Pemimpin-pemimpin banyak yang bosan berjuang
lalu melakukan penyelewengan-penyelewengan . bibit-bibit korupsi dan manipulasi
mulai merasuk merusak masyarakat dan negara. Pertikaian antara golongan-golongan
politik kan nyata membuktikan bahwa bagi mereka yang penting bukanlah kehidupan
bangsa dan negara. Adapula rakyat. Melainkan golongannya sendiri, partainya
sendiri, bahkan diri sendiri saja.
Pada
bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang
“kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Dalam simposium yang
diselenggarakan oleh golongan-golonganb kebudayaan Gelanngang, Lekra, Liga
Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu telah dibahas
kesulitan-kesulitan jaman peralihan, ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi
dan ekonomi. Di antara para pembicara ialah St. Sjahrir, Moh. Said, Mr.
Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, Dr. J. Ismael, Sutan
Takdir Alisjahbana, Boejoeng Saleh dan lain-lain.
2. Sastra Majalah
Salah
satu alasan utama yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra
Indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit . Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam
tahun-tahun 1950-1951-1952-1953 selalu muncul dengan judul-judul baru,
tebal-tebal pula, dielakkan oleh para penuduh itu dengan alasan bahwa
roman-roman itu ditulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950.
Sejak
tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit
utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang
bernaung di bawah Kementrian P.P & K berkali-kali mengalami perubahan
status. Perubahan-perubahan status yang dilakukan antara sebentar, ditambah
oleh penempatan pimpinan di tangan orang yang bukan ahli, pula kian tak
mencukupinya anggaran yang tersedia, menyebabkan kemacetan produksinya.
Maka
aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggan / Siasat, Mimbar Indonesiam,
Zenith, Pudjanggan Baru dan lain-lain.
Keadaan
seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini
pertama kali dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya ‘Situasi 1945’
yang tadi sudah disebut, dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinannya.
3. Beberapa Pengarang
NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho
Susanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi
sesungguhnya ia pertama-tama menulis saja-sajak yang sebagian besar dari
antaranya dimuat juga dalam majalah yang dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu
mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang
kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah
kumpulan cerpen. Kumpulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958), memuat cerpen-cerpen tentang perjuangan
kemerdekaan nasional yang dilakukan oleh para pemuda dan pelajar yang masih
muda-muda usianya. Kumpulan ini kemudia di susul oelh Tiga Kota (1959) memuat cerpen-cerpen yang ditulis karena inspirasi
dari tiga kota : Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta. Kumpulan cerpennya yang
paling berhasil berjudul ‘Jembatan’.
A.A. NAVIS
Menurut
usianya, Ali Bakri Navis yang kalau menulis menyingkat namanya menjadi A.A.
Navis itu sebenarnya lebih tepat digolongkan kepada angkatan ’45. Ia lahir di Padangpanjang
17 November 1924. Jadi setahun kelahiran dengan Sitor dan lebih tua daripada
Asru Sani, Pramoedya Ananta dan Rivai Apin. Tetapi ia baru muncul dalam
gelanggang sastra indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan
cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul ‘Robohnya Surau
Kami’.
Kumpulan
cerpen Navis yang lain ialah Hujan Panas (1964)
dan Bianglala (1964). Navispun telah
menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967).
TRISNOYUWONO
Trisnoyuwono
sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi
baru pada tahun 1955 cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan
penulisan cerpen-cerpen picisan dan mulai menulis secara lebih sungguh-sungguh.
Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-laki
dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N tahun
1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia
dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya.
Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin
Laut (1958) tidak begitu yang menyakinkan. Kumpulan cerpen yang berikut
berjudul Di Medan Perang (1961)
nilainya. Buku kumpulan cerpennya terakhir ialah Kisah-kisah Revolusi (1965).
Salah
sbuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan
Mesiu kemudian dikerjakannya kembali menjadi sebuah roman, judulnya sama
dengan judul cerpen asalnya, yaitu Pagar
Kawat Berduri (1962).
Trisnojuwono
yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain
berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.
IWAN SIMATUPANG
Iwan
Simatupang (lahir di Sabolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis
sajak, kemudia esai. Sesudah itu ia menulis cerpen, drama dan roman. Sajak
akhirnya kelihatan dia tinggalkan. Memang peranan Iwan terpenting di lapangan
prosa. Esai-esainya memberikan gaya dan kaki langit baru. Ia merasa tidak puas
dengan segala alam pikiran yang sudah karatan, kemudian mencari ufuk-ufuk baru
dengan logika dan kebebasan bahasa kata-kata.
Di
antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian di muat
dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul ‘Bulan Bujur Sangkar’,
‘Taman’, ‘RT Nol / RW Nol’. Kebanyakan rama sebabak. ‘Taman’ kemudian
diterbitkan sebagai buku kecil berjudul Petang
Di Taman (1966).
Di
antaranya cerpen-cerpen patut disebut ‘Lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen
yang baik sekali menyelam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara
sadar dan tidak sadar.
Kecuali
itu Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa diantaranya berjudul Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah (1968).
TOHA MOHTAR
Pengarang
yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam
majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra
atau kebudayaan !) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha
Mohtar. Ia mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul Pulang (1958).
Setelah
menulis Pulang, Toha Mohtar menulis
pula Daerah Tak Bertuan (1963),
sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika
para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu.
Belakangan
terbit pula romannya yang lain berjudul Bukan
Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
SUBAGIO SASTROWARDOJO
Meskipun
Subagio Sastrowardojo belakangan ini lebih terkenal sebagai penyai dan bukunya
yang pertama pun merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya
‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa saorang gadis yang
karena mau setia kepada kekasihnya yang
gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalau menghadapi hidupnya yang sepi.
Masih
banyak lagi sajak-sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain
yang termuat dalam naskahnya Daerah
Perbatasan dan Salju.
MOTINGGO BOESJE
Motinggo
Boesje yang lahir di Kupangkota, Lampung, tanggal 21 Nopember 1937, hingga
sekarang dikenal sebagai pengarang Indonesia yang paling produktif. Dalam tempo
kurang dari sepuluh tahun sudah berpuluh-puluh buku yang ditulis dan
diterbitkannya. Kebanyakan berupa norman-norman, ada yang agak pendek, tetapi
banyak juga yang merupakan trilogi yang masing-masing mencapai 500 halaman
lebih tebalnya.
Dramanya
Malah Jahanam mendapat hadiah
pertama. Drama-drama yang ditulisnya kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), nyonya dan Nyonya (1963),
Malam Pengantin di Bukit Kera (1963)
dan lain-lain.
Cerpen-cerpennya
kemudian di bukukan antara lain dalam Keberanian
Manusia (1962), Nasihat Untuk Anakku (1963),
Matahari Dalam Kelam (1963) dan
lain-lain.
Roman-romannya
yang mula-mula banyak yang merupakan simbolik perjuangan manusia dalam mempertahankan
ekstensinya. Tidak menyerah (1962)
merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang Palimo pemburu
tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di
kampungnya. Sejuta Matahari (1963)
mengemukakan suatu persoalan sosial, seorang wanita yang hidupnya sudah ternoda
sebagai wanita tuna susila ingin menjadi wanita baik-baik, menjadi ibu rumah
tangga yang terhormat. Sebuah cerita rakyat Lampung ditulis kembali dengan baik
sekali oleh Motinggo menjadi Buang Tonjam
(1963). Untuk menyebut beberapa judul saja misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman
pendek, 1963), Batu Serampok (juga
sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama Barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.
PARA PENGARANG LAIN
Rijoni
Pratikto (lahir di Tegal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk
di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun
1949. Antara tahun 1952 dan tahun 1956 barangkali Rijono merupakan pengarang
yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpen permulaan itu
kemudian diterbitkan dengan judul Api dan
Beberapa Ceita Pendek Lain (1951).
S.M
Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932)
mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajak-sajaknya
sebagian dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit
berjudul Ketemu di Jalan (1956).
Cerpen-cerpennya yang berdialek dan melukiskan kehidupan masyarakat Jakarta
dikumpulkan dalam buku Terang Bulan
Terang di Kali (1955). Ardan pernah menyadur cerita rakyat Jakarta yang
terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan romannya yaitu Nyai Dasima (1965).
Sukanto
S.A lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen, tetapi
hanya sebagian saja dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih banyak mencurahkan minatnya
kepada penulisan cerita kanak-kanak.
Alex
A’xendre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (lahir di Lahat tanggal
1934), menulis cerpen yang kemudian sebagian dikumpulkan menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun
menulis serangkaian sastra (= cerita sindiran) tentang ‘Kisah-kisah dari Negeri
Kambing’. Tahun 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul Mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah
tanggan.
Bokor
Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934) pertama-tama menulis cerpen-cerpen
yang kemudian sebagian dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1963). Sesudah itu ia menerbitkan dua buah roman
yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964) dan
Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya
kembali dari sebuah cerita rakyat Batak.
4. Beberapa Penyair
TOTO SUDARTO BACHTIAR
Toto
Sudarto Bachtiar (lahir di Palimanan, Cirebon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya
sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal ‘Ibukota Senja’ ditulisnya tahun
1951. Tetapi kebanyalan sajak-sajaknya ditulis sesudah tahun 1953, karena itu
ia baru dibicarakan sekarang dan pada period sebelumnya, berlainan dengan kawan
sebayanya Harijadi S. Hartowardojo yang setelah 1954 sedikit saja menulis
sajak.
Nada
umum sajak-sajak Toto Murung, terasing. Ia senantiasa mengidentifikasi dirinya
dengan orang-orang malang yang melarat.
W.S RENDRA
Rendra
yang semula nama lengkapnya Willibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7
Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini. Ia mulai
mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1954 dalam majalah-majalah terkemuka
di Jakarta dan lembaran-lembaran kebudayaan di Solo dan Yogya.
Sajak-sajaknya
yang pertama menarik karena kesederhanaan dan kekayaan imajinasinya.
RAMADHAN K.H
Ramadhan
K.H atau lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, tetapi baru
tampil namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Ia mula-mula menulis cerpen,
kemudian labih banyak menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa
memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia Lorca ke dalam
bahasa Indonesia yang diterjemahkannya
langsung dari bahasa spanyol. Karya-karya penting Lorca boleh dikatakan udah
diterjemahkannya semua. Tetapi yang sudah terbit merupakan buku barulah
dramanya Yerma saja (1959).
KIRDJOMULJO
Kirdjomuljo
(lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang
banyak sekali menulis sajak. Sekitar tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang
dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955
terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance
Perjalanan I. Romance Perjalanan jilid-jilid
selanjtunya tidak pernah terbit, meskipun konon naskahnya sudah disiapkan
penyairnya. Banyak sajaknya yang dimuat dalam majalah-majalaj tetapi belum lagi
diterbitkan sebagai buku. Dan yang dimuat dalam majalah-majalah itu konon hanya
sebagian kecil saja dari yang sudah selesai ditulisnya.
BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Belum
juga mendapat kesempatan untuk menerbitkannya menjadi buku antara lain ialah
Hartojo Andangdjaja (1930) M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta
Sriwibawa (1932), A.D Donggo (1932), Surachman R.M (1936) Ayatrohaedi (1939),
Mansur Samin (1930) dan lain-lain. Beberapa orang diantaranya akan disinggung
secara sepitas di bawah ini.
5. Drama
Setelah
beberapa tahun lamanya dunia penulisan drama Indonesia, hampir-hampir hanya
mengenal Utuy T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun lima
puluhan muncullah beberapa nama baru dalam penulisan drama indonesia. Dalam
hubungan pembicaraan sajak dan cerpen tadi sudah disinggung beberapa nama
seperti Motinggo Boesje, W.S. Rendra dan Kirdjomuljo yang ada juga menulis
drama.
NASJAH DJAMIN
Nasjah
Djamin lahir di Medan dalam tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskan
di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun
sampai awal tahun lima puluhan ia lebh banyak mencurahkan perhatiannya kepala
seni lukis. Ia memang lebih dahulu terkenal sebagai pelukis daripada penulis.
Dramanya
‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya
‘Titik-titik Hitam’ dengan judul Sekelumit
Nyanyian Sunda juga (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul ‘Jembatan
Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya).
6. Para Pengarang Wanita
NH. DINI
Nh. Dini yang nama
lengkapnya Nurhajati Srihardini (lahir
di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936), mulai menulis cerpen-cerpen yang dimuat
dalam majalah Kisah dan lain-lain.
Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada
soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh
wanita Dini ialah manusia-manusia yang kalaupun berontak ialah berontak karena
hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia.
KELOMPOK 12
PERIODE 1961 SAMPAI
SEKARANG
1. Sastra dan Politik
Merupakan
suatu kenyataan sejarah bahwa saudah sejak awal pertumbuhannya
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik.
Para pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktif dalam kegiatan pergerakan
kebangsaan pada masa itu. Bahkan ada di antaranya yang kemudial lebih terkenal
sebagai politikus dari pada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi.
Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam
dunia pergerakan nasional. Pun para pengarang pada awal revolusi bukanlah
oran-orang yang bersikap a-politis. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer,
Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis dan lain-lain merupakan orang-orang yang
mempunyai pandangan dan lain-lain merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan
dan kesadaran politik. Bahkan di antara mereka pun banyak juga yang aktif dalam
politik praktis. Begitu pula para pengarang yang lebih muda-muda.
Juga
adanya perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal
pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam
dunia sastra Indonesia.
2. Manifes Kebudayaan dan Konperensi Karyawan Penagarang Se
Indonesia
Atas
usaha H.B Jassin dan beberapa orang lain penyelenggaraan majalah Kisah almarhum, sejak bulan Mei 1961
diterbitkan majalah Sastra. Sebagai
ketua redaksi bertindak H.B Jassin. Sebagai redaktur penyelenggara D.S
Moeljanto. Sedangkan pada nomor-nomor pertama turut pula M. Balfas sebagai
anggota redaksi. Semuanya orang-orang lama dari majalah Kisah juga. Karena itu tidaklah mengherankan kalau kebijaksanaan
redaksi majalah ini merupakan kelanjutan majalah Kisah.
Seperti
juga majalah Kisah, sastra juga
mengutamakan memuat cerpen. Di samping itu juga sajak, kritik dan esai. Berbeda
dengan pada masa Kisah, pada masa Sastra jumlah pengarang muda yang
menulis esai sudah agak banyak. Beberapa orang pengarang baru muncul dalam
majalah Sastra.
Pengarang-pengarang
cerpen yang dalam Sastra mendapat
keleluasaan untuk tampil dan berkembang antara lain B. Soelarto, Kamal Hamzah,
Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B.Jass, dan lain-lain.
3. Para Pengarang Lekra
Supaya
mendapat gambaran siapa dan apa saja buah tangan para pengarang Lekra, di bawah
ini akan disinggung tokoh-tokohnya yang terpenting secara sepintas. Patut
dikemukakan, bahwa dibandingkan dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang
berinduk kepada partai-partai yang lain, Lekra paling maju dalam bidang
penerbitan. Bahkan mungkin satu-satunya yang menyelenggarakannya
penerbitan-penerbitan karya sastra berbentuk buku. Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang
bukan anggota mereka pun asal dianggapnya menguntungkan pihak mereka,
diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul Zaman Baru (1962) diterbitkan oleh organ
penerbitan Lekra. Padahal Sitor resminya ialah orang LKN.
Sementara
itu, orang-orang Lekra pun disebar untuk menguasai media massa yang secara
resmi bukan mereka punya. Pramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang
ketua Lembaga Seni Sastra (Lekra) dan salah seorang anggota Pleno Pengurus
Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan Lentera
dalam surat kabar Bintang (Timur) Minggu yang resminya ialah koran Partindo. Melalui media massa ini
dilancarkan dengan gencar berbagai insinuasi, fitnah dan serangan terhadap
orang-orang dan golongan-golongan yang secara politis dianggap membahayakan
mereka.
4. Para Pengarang Keagamaan
Meskipun
partai-partai agama juga tidak ketinggalan mendirikan lembaga-lembaga
kebudayaan yang berinduk kepadanya, namun usaha-usaha mereka dalam bidang
penerbitan boleh dikatakan sangat terbatas. Umumnya hanya terbatas pada
ruangan-ruangan kebudayaan yang menumpang pada koran-koran partainya. Misalnya
Lesbumi yang berinduk kepada NU pernah mempunyai ruangan kebudayaan dalam surat
kabar partai itu Duta Masjarakat.
Buku-buku
karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga
atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan
itu. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berjudul Umi Kalsum dan Perjalanan ke Akhirat diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan
sajak M. Saribi Afn. Gema Lembah Cahaya (1964)
diterbitkan oleh Pembangunan.
Diantara
para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen
yang dimuat dalam majalah-majalah tetapi belum menerbitkan buku, antara lain
patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M ., B. Jass, M.Jusa Biran,
Moh. Dipenegoro dari agama islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana,
Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakdi Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari
agama Kristen dan Katolik.
5. Sajak-sajak Perlawanan tehadap Tirani
Diantaranya
yang terbit Di Jakarta ialah Tirani
dan Benteng oleh Taufiq Ismail, Perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abdul Wahid Situmeang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa
fakultas sastra lain-lain. Sedangkan di Medan terbit Ribeli 1966 (dengan dicetak yang merupakan kumpulan sajak bersama
Aldian Aripin, Djohan A. Nasution dan Z. Pangaduan Lubis).
Yang
paling penting dari semua kumpulan sajak itu ialah Tirani dan Benteng buah
tangan Taufiq Ismail. Kedua kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan tercetak :Tirani (1966) dan Benteng (1968).
Adanya
protes sosial dan protes politik dalam sajak-sajak itu telah menyebabkan H.B
Jassin memproklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66’ mulai sebuah tulisannya dalam
majalah Horison (1966).
Terhadap
Proklamasi Jassin tentang lahirnya ‘ Angkatan 66’ ini telah timbul berbagai
reaksi. Rachmat Djoko Pradopo dalam tulisannya dalam Horisson juga (1967) menyambut proklamasi Jassin itu dengan
kesimpulan bahwa “Angkatan 66 sastra Indonesia baru suatu kemungkinan”
sedangkan nama ‘Angkatan 66’ dielakkan oleh Satyagraha Hoerip Soeprobo (Horison 1966) dan Arief Budiman (Pelopor Baru 1967). Mereka lebih
menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan).
6. Beberapa Pengarang
B.
Soelarto (lahir pada tanggal 11 September 1936 di Purworejo) menulis cerpen dan
drama. Cerpen-cerpennya penuh dengan protes dan ejakan. Banyak cerpennya yang
hanya merupakan catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial ketika
ditulis. Dramanya Domba-domba Revolusi yang
tadinya dimuat dalam Sastra (1962)
itu ditulis dalam bentuk novela dan diterbitkan dengan judul Tanpa Nama (1963) oleh Balai Pustaka
berjudul Domba-domba Revolusi (1968).
Bur
Rasuanto (lahir di Palembang pada tanggal 6 April 1937) kecuali menulis cerpen,
juga menulis sajak dan esai bahkan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam dan
menjadi wartawan-wartawan perang Harian
kami dan menulis laporan tentang perang Vietnam. Cerpen-cerpennya
dikumpulkan dalam Bumi yang
Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajak
yang ditulisnya semasa demontrasi awal tahun 1966 diterbitkan (dengan stensil)
berjudul Mereka Telah Bangkit. Kemudian
diterbitkan dengan tercetak di Medan (1967). Roman yang ditulisnya berjudul Sang Ayah (1969), sedang Manusia Tanah Air baru dimuat secara
bersambung dalam Sk. Sinar Harapan
(1969).
A.Bastri
Asnin (lahir tanggal 29 Agustus 1939 di Muaradua, Palembang) menulis
cerpen-cerpen yang diantaranya pernah mendapat hadiah tahunan majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian
diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan,
yaitu Di Tengah Padang (1962) dan Laki-laki
Berkuda ( 1963). Sekarang Bastari bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami.
7. Beberapa Penyair
TAUFIQ ISMAIL
Sebenarnya
Taufiq Ismail (lahir tahun 1937 di Bukittinggi, tetapi dibesarkan di Pekalongan
) telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak
tahun 1954. Tetapi baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke muka, ketika
sajak-sajak yang ditulisnya dengan nama samaran Nur Fadjar diumumkan dengan
judul Tirani di tengah-tengah demontrasi para siswa dan
pelajar menyampaikan “tritura”. Sajak-sajaknya itu seluruhnya ada 18 dan
ditulis dalam waktu seminggu saja (antara tanggal 20 dan 28 Pebruari 1966) dan diterbitkan pertama kali dalam
bentuk stensilan sebagai nomor khusus majalah Gema Psychologi.
GOENAWAN MOHAMAD
Goenawan Mohamad lebih
dikenal sebagai seorang penulis esai. Esai-esainya tajam dan ditulis dengan
penuh kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair yang berbakat.
Produktif pula. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah.
Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia
ditengah alam sepi tanpa kata menjadi tema yang banyak kita jumpai dalam
sajak-sajaknya, Senja Pun Jadi Kecil, Kota Pun Jadi Putih, Siapakah Laki-Laki
Yang Rebah Ditaman Ini?.
PENYAIR-PENYAIR LAIN
Saini
K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni 1938) banyak menulis sajak-sajak
yang dimuat dalam majalah-majalah sekitar tahun enam puluh. Kecuali menulis
sajak Saini banyak juga Menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan. Bukan
hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerahnya, Bahasa Sunda.
Kumpulan sajaknya Nyanyian Tanah Air (1968)
memuat sepilihan sajak-sajaknya.
Sapardi
Djoko Danamo menulis sajak sangat berlimpah-limpah. Dalam sajak-sajaknya yang
lebih kemudian kelihatan kematangan dalam kesederhanaan pengucapan yang
langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1967
diterbitkan akhir 1969 dengan judul duka
Mu Abadi.
Wing
Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sebenarnya
sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu
dua sajaknya pada masa itu.
Budiman
S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1983) juga banyak menulis
sajak-sajak dalam berbagai majalah.
8. Para Pengarang Wanita
Titie
Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugarti Siswandi, Ernisiswati, Hutomo,
Enny Sumargo dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair
kita lihat munculnya Isma Sawitri , Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bupsy
Soenharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie
Said atau yang nama lengkapnya Ny. Titie Raja Said Sadikun ialah seorang
pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro pada
tanggal 11 Juli 1935. Beberapa lamanya Titie Said pernah menjadi anggota
redaksi majalah Wanita.
Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buk berjudul Perjuangan dan Hati Perempuan (1962).
Sebagian besar dari cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan
dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya ‘Malaria’ dan ‘Kalimutu’
merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
9. Drama
Kegiatan
di dalam pementasan drama kian meningkat juga. Moh. Dipenegoro (lahir di
Yogyakarta pada tanggal 28 Juni 1928) yang merupakan ketua grup drama Teater
Muslim di Yogyakarta banyak menulis lakon-lakon yang diambilnya dari sejarah
dan cerita-cerita islam. Antara lain ia menulis Iblis, dan Surat pada
Gubernur. Lakon-lakon itu berpuluh-puluh kali dipanggungkan oleh Teater
Muslim, baik di Yogyakarta maupun dikota
kota-kota lain. Sebelum Moh. Dipenegoro telah dikenal sebagai penulis cerpen
dan penerjemah ayat-ayat Al-Qur’an secara puitis. Sebagian dari hasil
terjemahan itu dimuat dalam Manifestasi susunan
M. Saribi Afn. Sayang lakon-lakon yang ditulisnya sampai sekarang belum juga
diterbitkan.
Yang
banyak pula menulis naskah-naskah drama yang berdasarkan kisah-kisah Islam
ialah M. Yunan Helmy Nasution. Dia memimpin Himpunan Seniman Budayawan Islam
(HSBI) dan telah menulis dan mementaskan drama-drama Iman dan lain-lain.
Saini
K.M yang namanya sudah disebut sebagai penyair, juga penulis drama untu
pementasa akademi teater dan Fim serta
teater perntis Bandung. Ia banyak mengambil kisah-kisah lama yank di kerjakan
menjadi drama sajak, antara lain prabu Geusan ulun yang telah berkali-kali
dipentaskan
B.
Soelarto yang sudah dikenal dengan dramanya Domba-domba revolusi kadang-kadang
juga mengumumkan dramanya yang baru dalam majalah-majalah di Jakarta
10.Esai
Penuisan esai kian hari ternyata kian mendapat perhatian
para pengarang kita.pada zaman angkatan 45 penulis-penulis esai dapat di hitung
dengan jari : Chairil Anwar, asrul sani,
Ida Nasution , Rivai apin, Trisno Sumardjo,Harjadi S.Hartowarjodo ; Sumantri
merto dipouro ,Bahru rangkuti
Boejoeng Saleh Poeradisastra , dan Soetjadmoko. Setelah
itu yang banyak menulis esai ialah
nugroho Notosusanto,wiratmo Soekito dan iwan Sipanupang
Diantara yang muncul lebi kemudian
tadi sudah disebut Goenawan Mohamad.Di sampng itu arief Budiman { yang dahulu
namanya Soe Hok Djin} ,D,A, peransi, Dick Hartoko,Andre hardjana, Sanento
Juliman,Hartojo Ananggdjaja, dan lain-lain.
STRUKTURALISME : OTONOMI
SASTRA
6.1 Sejarah Perkembangan dan Tokoh-tokoh
Pandangan
bahwa karya sastra mempunyai struktur yang otonom telah ada sejak Aristoteles
menulis buku yang berjudul Poetics.
Dalam buku tersebut ia menjelaskan syarat-syarat utama sebuah plot dalam suatu
sarya sastra yang bersifat tragedi. Syarat-syarat itu ialah (1) urutan dan
aturan : dalam karya sastra, urutan peristiwa harus masuk akal ,
sekurang-kurangnya harus ada awal, tengah, dan akhir, suatu tindakan harus ada
sebab, (2) keragaman : unsur-unsur karya sastra harus memungkinkan perkembangan
peristiwa yang masuk akal agar jelas perubahan nasib tokoh-tokoh, (3)
keseragaman setiap unsur dalam karya sastra tidak dapat ditukar letaknya tanpa
mengubah makna karya tersebut, dan (4) hubungan : setiap peritiwa dalam karya
sastra tidak mesti sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan, tetapi mungkin terjadi
dalam rangka keseluruhan karya tersebut (Teeuw, 1984:12).
Pada
zaman dahulu, karya sastra berbentuk lisan. Tukang cerita adalah orang yang
paling tahu dengan ceritanya. Apa yang diucapkannya adalah benar (sehubungan
dengan b) sementara masyarakat hanya mendengarkan dan kalau perlu bertanya.
Untuk
itu, Saussure mengemukakan tiga asumsi dalam menjelaskan sistematika bahasa :
(1) hakikat bahasa yang sistematis, yaitu bahwa keseluruhan lebih berarti
daripada penjumlahan bagian-bagian; (2) konsep hubungan unsur bahasa, yaitu
bahwa entitas linguistik didefinisikan dalam hubungan kombinasi dan kontras
antara yang satu dengan yang lain.; (3) hakikat arbitrer unsur-unsur bahasa,
yaitu bahwa bahasa didefinisikan dalam istilah fungsi dan tujuan yang di emban,
bukan dalam kaitan dengan istilah kualitas yang terpisah-pisah (Schleifer,
2002:1).
Dari
karya Ferdinand de Saussure itulah berkembang kajian struktural dalam bidang
sastra yang dimulai oleh Roman Jakobson. Menurut Jakobson, semua tidak bahasa,
tertulis atau lisan, terdiri atas enam unsur yaitu : adresser, addrese, massage, contact, code dan context. Masing-masing unsur itu disejajarkan dengan fungsi bahasa,
yaitu : emotive, conative, poetic,
phatic, metalingual, dan referintial (
Issacharoff, 2003:2).
6.2 Kerangka Teori Struktural
Hal
yang menarik dari Formalis Rusia adalah apa yang mereka sebut dengan penyulapan dan pengasingan. Kedua istilah itu dianggap sebagai aktivitas yang
menimbulkan sifat kesastraan (literariness)
dalam sebuah teks. Teks sastra adalah teks yang sudah
disulap oleh pengarangnya sehinggan menimbulkan efek pengasingan bagi pembaca.
Pengasingan tersebut memperlambat percerapan pembaca terhadap sebuah teks
tetapi bukan sekedar pengasingan yang mempelambat dan tak berguna. Justru
dengan pengasingan itu pembaca akan dapat menangkap kenyataan baru dalam arti
yang seluas-luasnya, lebih dari arti denotatif yang terkandung dalam rangkaian
kata-kata. Dengan demikian pembaca sadar akan kenyataan yang sesungguhnya.
Pengasingan
yang dimaksud dalam kaitan ini adalah pengasingan dari bahasa sehari-hari.
Artinya, penggunaan bahasa dalam karya sastra idak lagi sama dengan penggunaan
bahasa sehari-hari yang komunikatif-praktis.
Khususnya
dalam karya naratif, Formalis
mengemukakan tiga istilah yang berhubungan peristiwa :motif, fabula, dan sizjet. Motif adalah kesatuan peritiwa terkecil yang ada di dalam
karya sastra (Satu kesatuan waktu, tempat, dan tindakan) ; fabula adalah
rangkaian motif demi motif menurut logika dan kronologis sebagaimana dapat
direkontruksi pembaca melalui analisis plot ; sedangkan Suzjet adalah rangkaian
peristiwa sebagaimana adanya dalam karya
sastra, dan awal sampai akhir cerita.
6.3 Kerangka Kritik Satruktural
6.3.1
Kritik Struktural Berpola
Sebelum
melakukan kritikan, kritikus terlebih dahulu menentukan apa yang mereka cari.
Apa yang dicari tersebut tentulah ciri-ciri dari unsur-unsur (struktur) yang
membangun karya sastra.
a. Karya Sastra Naratif (Prosa)
Ke dalam karya sastra
naratif atau prosa tercakup novel dan
cerpen. Walaupun terdapat sitilah roman, namun dalam kaitan penjelasan ini, roman disamakan dengan
novel.
1. Plot / Alur
Plot
atau alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan
peristiwa yang secara logik dan kronologis saling berkaitan dengan yang
diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
Secara
umum dibedakan dua plot : tradisional dan konvensional. Plot yang menderetkan
rangkaian peristiwa (exposition),
menuju puncak (complication) ,di puncak(climax),dan
akhirnya penyeesaian (resolution),disebut
plot tradisional,sedaangkan plot yang tidak terikat kepada sitim penderetan
peristiwa seperti itu disebut plot konversional
Kedua
jenis plot diatas menggunaan beberapa macam teknik bercerita.dalam hal ini
dikenal empat teknk cerita :kilasbalik(flashback),padahan(foreshadowing), penggelapan(mitery),dan
kejutan(suspens)
2. Karakter/tokoh setiap
karya sastra naratif namun karakter/tokoh.justrutindakan tokoh lah yanng
eggerakan peristiwa sehingga menimbulkan berbagai peristiwa lanjutan .tokoh
juga yang membedakan sebuah karya naratif dengan tulisan tulisan
deskriptis.tokoh merupakan komponen penting dalam sebuah cerita . apabila tokoh
tidak ada sulit menggolaongkan karya tersebut kedalam karya karya sastra
naratif karena terjadinya plot adalah karena tindakan dan akibat dari tindakan
tokoh tokoh
3. Latar latar
adalah tempat uruta waktu ketika tindakan berlasung .latar sebuah episode dalam
karya sastra adalah lokasi tertentu secara fisik tempat tindakan
terjadi(Abrams,1971;157)tinadakan atau peritiwa dan karalter atau tokoh selalu
berada dalam referensi waktu dan tempat . latar merupakan faktor utama dalam
memformulasi persoalan da berpengaruh lansung dalam pengungkapan tema. Latar
tidak harus sebuah temoat yang secara fisik/ nyata ada daam realitas
,tetapidapat juga berupa kondisi psikhis
dan moral suatu suatu keadaan (taylor, 1981:60-70)
4. Sudut pandang sudut
pandang atau pusat pengisahan merupakan tempatberada narator dalam menceritakan
kisah nya . seiap kalimat di dalam karya sastranaratif merupakan perkataan yang
di ucapkan oleh seseorang .ucapan ini mungkin diucapkan oleh seseorang
pencerita (narrator) tentang perbuatan tokoh-tokoh . dalam hal yang pertama
(ucapan pencerita ), si pencerita idak tau persis apa dan bagaimana ucapan
tokoh . ia hanya menceritakan dengan bahasanya sendiri bagaimana tokoh-tokoh
berbuat berucap,dan bagaiman suasana yang ada di dalam cerita .
5. Gaya bahasa gaya
bahasa dalam karya sastra naratif merupakan bentuk bentuk ungkapan yang
digunakan oleh pengarang untuk menyampaikanceritanya.penggunaan bahasa dalam
mengungukapka ide atau tema yang di ajukan dalm karya sastra dapat beragam dari
pengarang yang satu ke pengarang yang lain
b. Karya sastera non-naratif (sajak) kedalam
karya sastra non-naratif termasuk segala
jenis sajak, baik yag lasik {pantun,grindam,seloka,teka-teki,a sebagainya}
maupun yang baru{sajak bebas},selanjutnya disebut sajak. Pola-pola yang
dimksdkan dalam kritik terhadap karya sasra non-naatif adaah sebagai berikut.
Pertama,bait dan baris. Bait dan
bais adalah unsur formal sebuah sajak kadua,unsur
misikalias.unsur ini brkaitan dengan bunyi,irama, persajakan dan sebagainya. Ketiga,diksi.
Ekspresi saja ama bergantung pada disi atau piliha kata yang disususun penyair
menjadi baris-baris dan bait.
Ke
empat, stuktur penceritaan sajak, tedapat tiga macam penceritaan dalam sajak :
molog,dialog, dan neratif.
c. Karya satra Berbentuk Drama
Ke dalam karyasastra bebentuk drama
termasuk semua teks yang unsur utamanya adalah dialog. Dengan demikian tidak di
bedakan drama klask ,sehari-hari/ modern
6.3.2
Krtik Struktural Takpebola
Sesuai dengan mananya, kritik ini tidak di dahului dengan menentuan
pola-pola apa yang akan di bahas. Tritikus tidak mentpkan trelebih dahulu apa
yang yang akan mereka cari. Hubungan antararunsur dlihat dan ditetapkan sewaktu
proses pengeritikn berlangsung. Oleh sebab itu diandaikan bahwa tidak ada pola
keja yang sama untuk semua jenis karya sastra
dibahas sesuai dengan dan sejauh mana Keerkaitan Krtikus/peneliti
Esai-esai yang
membahas karya sastra dapat dimasukkan kedalam bentuk Kritik struktural tak
berpola. Pada dasarnya, kritikus memahami unsur srktur karya yang dibahasnya,
tetapi tidak di ngkapkn secara formal. Aspek plot, karakter, latar, pengisahan,
dan gaya bahasa disampaikan secara sekaligus
Pragmatisme :resepsi sastra
Teori tentabgng struktur hanya dimaksudkan untuk
menjelaskan lapisan permukaan teks sastra . sruktur di anggap bentuk sehingga
di anggap tidak menyentuh isi karya sastra .
Sebagai salah satu titik koordinat kritik sastra , pendekatan
progmatik menempatkan karya sastra sebagai objek sajian maknanya tergantung
pada pembaca (Abrams,1971:3;teeuw,1984;50).
Teori –teori satra yang membicarakan pendekatan progmatik
di kenal dengan resepsi satra(reception nesthetics)
Sebagai perbandinagan,dalam perkembanga linuistik , para
linguis gramatikal transformasi generatif dan semantik konvensional juga
melihat hal yang sama .mereka mengakui bahwa banyak fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori linguistik struktural .
Untuk penyelesaian masaah ini para linguis mencoba untuk
mencari jalan keluar dengan menggunakan ilmu progtamatik.prakmatik adalah studi
bahasa dan komunikasi dalam kaitannya dengan pikiran ,sosial , dan budaya
Kedua perkembangan itu (pragmatik dalam sastra dan linguistik),pada
dasarnya, sejalan dalam pengertian sama-sama diawali dengan di pengaruhi oleh
filsafat pragmatisme.pragmatisme berkembang di AMERIKApada akhir abad ke-19
yang merupakan pandangan filsuf seperti MANUEL KHAN ,CHARLES SANDER PIERCE, JHON DEWEY,dam
WILLIAM JAMMES
Berikut ini di kemukakan beberapa aspek teoritis dari
beberapa ahli baik sebagai peritis maupun pengembang resepsi sastra .
7.1
MUKAROVSKY dan VADICKA
Jan MUKAROVSKY dan murid nya velix vodoka dianggap
sebagai perintis perkembangan resepsi sastra (pemahaman sastra melalui
pendekatan progmatik). MUKAROVSKY adalah seorang srukturalis praha , suatu
kelompok linguis yang merupakan perikembangan lanjutan dari formalis rusia yang
lebih tertarik dengan nilai dan fungsi puitika dan estetika bahasa . menurut MUKAROVSKY,dalam
seni bukanlah hasil yang di pentingkan ,tetapi proses pemberian makna
,sementara karya seni baru bermakna setelah berinteraksi dengan penikmat.
Khususnya satra ,pembacalah yang emberi makna dan karya satra hanya menyediakan
kode makna . Beberapa dengan ingarden ,menurut kodika justru pembaca mempunyai
pemungkinan kontritasi yang banyak .
7.2. JAUSZDAN ISER
Pada tahun 1960-an muncul dua orang tokoh ilmu sastra di
GERMAN barat , kedua tokoh itu adalah HANS GOBERT JAUSZ dan WOLFGANG ISER.
Dalam kaitan ini jausz
menawarkan pebdekatan penulisan sejarah sastra yang memberikn perhatian
terhadap dinamika sastra . dinamika sastra akan terlihat pada aktifitas dan
kesan yang di timbulkan oleh pembaca baik secara diakronis maupun singkronis.
Menurut JAUSZ,intepretasi
saeorng pembaca perhadap sebuah teks satra di tentukan oleh apa yang disebutnya
dengan orison penerimaan .horison penerimaan kadang-kadang disebut horison
harapan pembaca, terbagi kepada dua : (1).
yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra dan
(2). yang tidak bersifat estetik atau
yang tidak ada didalam teks sastra ,tetapi suatu yang melekat pada pembaca.
7.3. pembaca dalam karya sastra
Jadi
,yang dimaksud pembaca biasa disini adalah masyarakat umum yang membaca karya
sastra aspek yang di teliti dalam resepsi sastra dalam kaitannya dengan pembaca
biasa ini adalah reaksinya terhadap karya sastra pembaca ideal adalah pembaca
yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian . ia membaca karya sastra
dengan tujuan tertentu .pembaca ideal yang disamakan dengan pembaca yang di
dalam teks terbagi kepada pembaca imlishit adalah orang yang tidak di sebutkan
secara jelas di dalam teks .
7.4. tentang metode
a) Kepada pembaca , perorangan atau kelompok ,disajikan atau
diminta pembaca karya sastra . sejulah pertanyaan dalam bentuk teks atau angket
yang berisai tentang permintan tanggpan ,kesan,penerimaan terhadap kaeya sastra
yang di baca tersebut diajukan untuk diisi.
b) Kepada pembaca, perorangan atau kelompok, diminta membaca
karya sastra . kemudian mereka diminta untuk menginterpetasikan karya sastra
tersebut secara bebas atau dibatasi pada aspek tertentu
c) Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat
persepsi mereka terhadap karya sastra
(sebuah karya sastra, sekelompok karya sastra,karya sastra seseorang penulis,
dan seterusnya.
Pengarang:manusia super
Kata
pengarang pada judul di atas berarti pencipta dengan kat pencipta termasuk
berbagai istilah dengan pengertian pencipta seperti penulis , sastrawan ,
penyair ,novelis ,dramawan,dan termasuk pencipta sastra lisan meskipun sering
tidak di nyatakan (anonim)
Beberapa pembahasan
tiori dari dimensi sejarah.
a.
Aspek
kesejarahan akan memperlihatkan gambaran yang jelas tentang asal- usul dan
perkebangan pemikirn manusia dalam upayanya mencari dan memverifikasi ilmu
pengethuan.
b.
Tidak
satupun ilmu pegetahuan yang muncul begitu saja dari kekosongan, tampa diawali
dengan suatu perkembangan yang diarahkan nya ke pekembangan seperti saat ini.
c.
Prospek
dan prespektif sebuah teori dalam ilmu pengetahuan amat ditentukan oleh latar
belakang munculnya dan keberadaanya saat ini.
d.
Apabila
tidak dmulai dari aspek kesejarahan, ada kemungknan dalam penerapanya akan
terjadi kesalah pahaman sehingga aka
mengaburkan arah yang akan dituju.
e.
Khusus
sehubungan dengan negeri Greek atau Yunani Kuno, samua pakar tahu bahwa negeri
itu merukan /dianggap sebagai tempat perkembangan nya berbagai cabang ilmu
pengetahuan, walau pun di ilmu pengatahuan, walaupun dimasa itu ilmu
pengetahuan, walaupun di masa itu ilmu pengetahuan baru dalam taraf pemikiran
filsafat, belum sampai pada taraf sistematika ilm, apalagi pada taraf
penerapanya.
f.
Teori-teori
dalam lmu sastra tidak dapat pahami dengan baik tampa pengetahuan saperlunya
menganai sejarah perkembanagan teori
sastra sejak zaman kebudayaan klasik. Bahkan diakui bahwa diskusi-diskusi dari
jaman yunani Kuno danLatin Klasik, lebih dari dua ribu tahun yang lalu, masih
etap aktual
4.1 Aspek Ekspresif sastra
Sikana
(1986:20-31) dengan ringkas memperlihatkan sejarah kritik sastra di Yunani dan
Romawi. Aspek mimesis, karya sastra meniru alam, ditekankan oleh plato dan aristoteles,
walaupun keduanya mempunyai pendapat yang berbeda tentang peniruan aam ini.
Tentang krya sastra yang bertruktur juga telah ditemukan oleh aristoteles dalam
bukunya Poetics.
Di dalam bukunya buku yang dalam bahasa aslinya
tersebut berjudul Pery Hypsous, longinus
menjelaskan (hal yang memungkinkan timbulnya) Keagungan ( sublim) sebuah karya. Ia emngemukakan lima
kreteri, yaitu (1). jenius yang kreatif, (2). wawasan yang agung, (3). Emosi dan
nafsu, (4) retorik: majas dan diksi, dan (5)pengubahan yang mulia.
Karya sAstra yang agung harus mampu
membangktkan emosi pembaca, membawa
pembaca ke alam fiktif karya sastra sehingga memancarkan keinginan-keinginan
yang di kawal oleh wawasan yang agung tadi .retorik,majas ,dan diksi tertuju
pada karya .
4.2 keunggulan pengarang
pengaramng adalah orang yang pandai ;ia adalah filsuf yang
menguasai cara berpikir manusia pada suatu zaman .
kata author berarti “pengarang”;apbila
ditambah dengan akhiran-ity,authority berarti “berwenag “ atau “berkuasa”.jadi
pebggunaan keta author untuk”pengarang”
berarti bahwa seorang pengarang adalah seorang yang berwenang dan berkuasa
.misalnya adalah ,”apa yang di kuasai oleh pengarang ?”pengarang adalah
penguasa bahasa ;orang yang ,karena penguasaannya terhadap bahasa ,mampu
menciptakan kenyataan lewat bahasa yangtidak sama dengan kenyataan sehari-hari
pengarang adalah
orang yang telah menghidupkan kata yang telah mati,pengarang adalah orang yang
mempunya kepekaan yang tinggi terhadap persoalan kehidupan manusia .
4.3 Kerangka Kritik Pendekatan Ekspresif
Untuk menyelami jiwa penyair atau sastrawan pada umum nya ,
para kritikus /peneliti menggunakan pendekatan ekspresif ,pendekatan yang
menitik beratkan kajian nya pada pengarang (pencipta).dengan endekatan ini para
kritikus /peneliti menganggap atau merasa bertemu dengan si aku penciptanya:
dalam puisi adalah si aku penyair (aku-lirik),da dalam prosa adalah si aku
pengarang .
Pendektan eksprsif
mempunyai kerangka kritik msebagai berikut ini:
a)
Pendekatan
ekspresif hubungan erat dengan kajian kajian sastra sebagai karya yang dekat
dengan sejarah ,terutama sejarah yang berhubungan dengan denga kehidupan
pengarangnya .
b)
Karya
sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang .gerak jiwa ,pengembaran imajinasi dan fantasi
pengarang terlukis dalam karyanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)